BERBAKTI DAN MENGABDI

BERBAKTI DAN MENGABDI

Rabu, 19 Desember 2012

Pengelola Jurnal di Lingkungan UNSUR Gelar Raker

Raker Pengelola Jurnal di Lingkungan FKIP UNSUR dibuka Dekan FKIP UNSUR (Sabtu, 15/12)

Berdasarkan Surat edaran No. 152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012, syarat kelulusan mahasiswa diwajibkan mempublikasikan karya ilmiah.  Bagi mahasiswa S1 wajib mempublikasi karya ilmiah di jurnal ilmiah. Begitu pula mahasiswa S2 di jurnal ilmiah nasional, dan untuk mahasiswa S3 harus di jurnal ilmiah internasional.

Dengan bergulirnya aturan baru tersebut, maka keberadaan jurnal di perguruan tinggi merupakan hal penting.  Secara ideal, perguruan tinggi dapat menghasilkan dua komponen, yakni lulusan (orang) dan karya ilmiah. Efektivitas  komponen kedua,  tentunya harus dipublikasikan agar bisa dibaca semua orang dan menciptakan dialektika keilmuan yang nantinya berimplikasi positif terhadap kualitas perguruan tinggi. Harapan pemerintah, publikasi karya ilmiah menjadi tradisi akademik di Indonesia.

Peserta Raker sedang berkonsentrasi terhadap materi diberikan penyaji.

Untuk mengantisipasi hal itu, pengelola jurnal di lingkungan FKIP Universitas Suryakancana Cianjur, hari Sabtu (15/12) di ruang Micro Teaching FKIP UNSUR mengadakan rapat kerja berkaitan dengan pengelolaan jurnal di fakultas pendidikan dan keguruan ini.  Rapat kerja ini mengambil tema  "Membudayakan  publikasi ilmiah di kalangan civitas akademika FKIP UNSUR".  Adapun tujuan hendak dicapai adalah    meningkatkan keterampilan publikasi ilmiah civitas akademika FKIP UNSUR.

Raker itu dibuka secara resmi oleh Dekan FKIP UNSUR Cianjur, Drs. H. Iyep C. Hermawan, M.Pd.  Acara selanjutnya menampilkan  narasumber Drs. Daud Pamungkas, M.Pd dan Dr. Hj. Siti Maryam, M.Pd memberi pembekalan seputar pengelolaan jurnal baik tantangan, peluang dan kendalanya.  Kedua narasumber  membawakan materi "Standar Jurnal Ilmiah Edisi Terbaru". Acara tsb dipandu oleh Muh. Akhrom.

Dalam kesempatan itu hadir sejumlah peserta merupakan pengelola jurnal di lingkungan FKIP UNSUR Cianjur.  Mereka mewakili media jurnal yang dikelolanya, seperti:   PRISMA (Pendidikan Matematika) yaitu  1. Dra. Hj. Sri Sulastri, M.Pd. 2. Dra. Euis Sapinah Suryani, M.Pd. 3.    Siti Andriani, S.Si. 4.    Ari Septian, S.Si.   Peserta dari jurnal MAENPO milik Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) adalah  5. Drs. Budiarto, M.Pd., 6. Dr. H. Tjetjep Habibudin, M.Pd, 7. H. Samsudin Ramli, S.IP., M.Pd., 8. H. Tendi Hidayat, S.Pd., M.Pd.  Sementara Perwakilan jurnal KEWARGANEGARAAN (Jurusan PKn) terdiri : 9. Drs.H. Munawar Rois, M.Pd, 10. Drs. Yahya Mulyadi, M.Pd., 11. Andi Sutandi, S.T. dan 12. Banan Sarkosih, S.Pd., M.Pd.

Adapun perwakilan dari jurnal  ALINEA  (PBSI S1) adalah  13. Dr. Hj. Iis Ristiani, M.Pd, 14. Dr. Sri Mulyanti, M.Pd, 15. Drs. Daud Pamungkas, M.Pd, 16. Dra. Hj. Yeni Suryani, M.Pd., 17. Hamzah Fansuri, S.E.

Peserta dari Jurnal KEPENDIDIKAN (FKIP) terdiri:  18. Drs. H. Iyep Candra Hermawan, M.Pd., 19. Dr. Siti Maryam, M.Pd., 20. Drs. H. Abud Prawirasumantri, 21. Endang Jamaludin, S.E.  Adapun partisipan lain yang hadir  22. Dr. Benny, 23. Helmy Jauhari, M.Hum, 24. Nia Kurniawati, S.Pd. dan 25. Aan Hasanah, S.Pd.,M.Pd.

Pembekalan diberikan dalam rangka menyambut tahun 2013, di mana keberadaan jurnal diprediksi bakal semakin diminati oleh para dosen maupun mahasiswa.     (***/admin) 



Rabu, 17 Oktober 2012

Mengakhiri Tahun Akademik 2011/2012, Dosen dan Mahasiswa PBSI S2 UNSUR Cianjur Kunjungi Ujunggenteng, Sukabumi


Beroleh kesegaran di Pantai Ujunggenteng, Sukabumi

Hari Sabtu, 14 Juli 2012 merupakan akhir masa perkuliahan tahun akademik 2011/2012. Sejak hari Jum'at, kegiatan akademik di penghujung masa perkuliahan dilaksanakan berupa  ujian akhir semester (UAS) mahasiswa semester 1, 2, dan 3.  Kegiatan UAS kebetulan  bertepatan dengan berakhirnya pelaksanaan Ujian Komprehensif (bagi semester 3) dan Sidang Tahap II (semester akhir).

Mengakhiri perkuliahan ini, beberapa dosen, staf dan mahasiswa PBSI S2 UNSUR yang mengikuti ujian Komprehensif dan Sidang Tahap II menggunakan momentum ini dengan berwisata ke Taman Pesisir Pantai Penyu, Pangumbahan, Ujunggenteng, Kecamatan Ciracap Kabupaten Sukabumi.  Acara pengenduran urat syaraf dalam beroleh kesegaran sekaligus pelega emosi dari rutinitas kegiatan sehari-hari dilaksanakan pascakegiatan ujian, yakni  Sabtu-Minggu (14-15/7).

Wisata dilakukan kalangan akademisi PBSI S2 melibatkan mahasiswa dan dosen ini tergolong istimewa, karena dilakukan di  luar kegiatan lapangan akademik seperti biasangya (bukan seperti studi lapangan-red).  Di sini mahasiwa tak perlu direpotkan harus membuat laporan tugas, tetapi bersiap menikmati kejutan, yakni panorama  basisir pakidulan Ujunggenteng mempesona.

Prof. Iswas mencoba mengarungi Samudra Hindia

Nilai istimewa lainnya pada kesempatan ini hadir sejumlah "pupuhu" Prodi PBSI S2 UNSUR Cianjur, yakni Prof. Dr. Iskandarwassid, M.Pd (Ketua Prodi PBSI S2), Dr. Hj. Siti Maryam, M.Pd (Sekretaris Prodi), Dra. Hj. Yeni Suryani, M.Pd (Bendahara).  Turut serta pula staf pengajar PBSI S2 lainnya Dr. H. Kohar Pradesa, M.Pd, Dr. H. Yayat Sudaryat, M.Pd.  Sebelumnya beberapa staf dosen lainnya telah memberi konfirmasi keikutsertaan, yakni Prof. Dr. H. Yus Rusyana, Dr. Hj. Iis Ristiani, M.Pd, Drs. H. Iyep C. Hermawan, M.Pd, Ruswan Dallyono, S.Sos, M.Pd, rupanya ada sesuatu keperluan mendadak dan padatnya kegiatan yang bersangkutan  membuat ybs. belum bisa bergabung  dalam rombongan ini.

Pantai Penyu Pangumbahan
Namun, perjalanan ke salah satu ujung dimiliki provinsi  Jawa Barat ini tak kalah serunya.  Kisah lainnya dapat pembaca nikmati di blog PBSI S2, secara bertahap akan ditayangkan.
Seorang mahasiswi PBSI S2 mengikuti prosesi pelepasan tukik ke laut

Rombongan terdiri 3 mobil avanza bertolak pukul 15.30 dari Kampus UNSUR Cianjur melalui kota Sukabumi.  Peserta menunaikan salat Magrib  di daerah Lengkong.  Perjalanan malam menembus Jampangkulon melalui jalan pintas Mataram cukup menggenjot adrenalin penumpang.  Jalan berbatu dan hampir tidak dijumpai pemukiman menjadi kisah menarik tersendiri.  Pada akhirnya kendaraan tiba di jalan mulus Jampangkulon-Surade baru saja dihotmix.  Pukul 22.00, rombongan mencapai  Ujunggenteng dan menempati pondokan yang telah disiapkan.

Rasa lelah melakukan perjalanan panjang setara 6 jam itu, terobati oleh jamuan khas Ujunggenteng yang telah disediakan mahasiswa baru saja menuntaskan tesisnya, Sirwan Budiarto.  Ia tinggal di Cikalapa, Ujunggenteng.  Ikan bakar, nasi hangat, krupuk opak dan sambel dengan lalabnya langsung diterima dengan antusias.

Memanjakan lidah dengan kuliner ikan bakar yang cita rasa dan sensasinya terus nempel di lidah  penikmatnya.

Ikan bawal seberat 3 kg dan ikan lainnya ini telah diracik dengan bumbu ngepas dan dibakar pas, membuat dagingnya yang tebal dan "pepel" matang sempurna.   Gemuruh deburan gelombang Samudra Hindia yang berada persis di belakang saung tempat botram laksana iringan musik rok yang  menggairah suasana malam.  Apalagi sambal "jeletot" cukup pedas di lidah, efektif menggandakan nafsu makan terpendam sebelumnya. Dari kejauhan, sorot cahaya kapal nelayan secara samar-samar dapat diterawang dari balik saung. Makan malam di malam panjang di tepi pantai menimbulkan kesan mendalam. Bagi yang pernah bermalam mingguan di tepi pantai, barangkali  membangkitkan romantisme dan kenangan manis masa lalu.

Perjalanan ke Pantai Penyu Pangumbahan berjarak 4 km dilakukan malam itu juga.  Pantai Pangumbahan ditempuh dari lokasi Penginapan sekitar 20 menit melalui jalan sirtu (pasir batu) melewati sepanjang pasisir.

Pak Kohar dan Pak Yayat turut penasaran mengintip penyu di Pantai Pangumbahan

Meski malam telah larut, tak menghalangi rombongan menuntaskan kepenasaran melihat momen  proses bertelurnya penyu hijau di Pantai Penyu, Pangumbahan.  Seakan tak mengenal lelah, tiga sopir membawa peserta ini tetap antusias dan bersemangat menuju  Pantai  Pangumbahan.  Suasana deretan losmen dijumpai sepanjang jalan di pesisir pantai tampak penuh.  Begitupula rombongan remaja tampak berjalan kaki, membuat suasana malam jauh dari kesan sepi.
Pukul 00.30, rombongan mencapai lokasi Pantai Penyu Pangumbahan.  Rombongan sempat berbincang-bincang dengan petugas. Petugas menerangkan bahwa penyu amat sensitif terhadap gerakan maupun cahaya.   Ketika melihat banyak gerakan atau sorot cahaya, pengintaian penyu hendak bertelur bisa gagal total.  Namun tuli terhadap suara.  Meskipun kita berteriak dan berdiri di dekatnya, selama tidak bergerak atau menyalakan cahaya, penyu akan tidak terganggu.

Penyu hijau di Pantai Penyu Pangumbahan rela berjuang mengarungi ganasnya Samudra Hindia demi generasi selanjutnya: pesan tanggung jawab dan ketulusan sang ibu (Sumber: ujung-genteng.info)

Dibalik gemuruh suara gelombang laut yang mencekam, rombongan berhasil mencapai tepi pantai. Pasir halus membuat telapak kaki terbenam ke dalam pasir.  Itulah sebabnya, beberapa peserta rombongan menyarankan agar membuka sandal. Petugas yang berada di tepi pantai menyarankan agar rombongan menunggu di aula, nanti akan diberi kabar bila ada penyu yang naik ke daratan.  Proses penyu naik ke daratan, menggali lubang untuk bertelur dan proses bertelur memakan waktu 2 jam.  Menurut petugas, baru saja pada pukul 21.00, ada seekor telur yang telah naik dan bertelur.  Seekor penyu hijau mampu menghasilkan telur sekitar 150 butir.

Tengah malam di Lokasi Konservasi Penyu Pangumbahan
Pantai Menarik
Wisata di daerah Ujunggenteng cukup banyak sekali. Selain bisa  melihat langsung penyu hijau (Chelonia Mydas) bertelur di pantai Pangumbahan, lokasi bertelur penyu lainnya adalah Muara Cipanarikan. Muara ini cukup indah dan tenang. Banyak dikunjungi wasatawan lokal.  Satu lokasi lagi di Citirem berjarak 9 km dari Pangumbahan.  Telur-telur di 2 lokasi ini, menurut petugas ditetaskan di Penangkaran Pangumbahan.

Curug Cikaso penorama menakjubkan di selatan Sukabumi

Pengunjung bisa  berselancar di daerah Ombak Tujuh.   Lokasi ini merupakan kawasan diminati  bagi wisatawan mancanegara untuk olahraga selancar. Sebutan ombak tujuh menurut penduduk karena ombaknya selalu berurutan tujuh ombak dan selalu besar-besar.

Curug Cikaso adalah daerah wisata cukup eksotis merupakan tempat diminati wisatawan cukup indah. Di sini, pengunjung bisa menyaksikan keindahan panorama Curug  dalam 3 sisi sekaligus.

Pantai Amanda Ratu, Tanah Lot-nya Ujunggenteng (sumber: ujung-genteng.info)

Pantai lainnya yang mempesona adalah Tanah Lot Amanda Ratu.  Pantai ini boleh dikatakan Tanah Lot-nya Bali yang ada di Ujunggenteng. Meskipun belum setenar Tanah Lot Bali, namun Anda dijamin puas menuntaskan mata Anda dengan menikmati tawaran pesona alam mengagumkan di sekelilingnya.

Pastikan bagasi Anda cukup untuk buah tangan: Seorang mahasiswa sedang mengepak bagasi buah tangan berupa "ikan segar" dari TPI Ujunggenteng

Anda bisa berbelanja ikan segar di tempat Pelelangan Ujunggenteng yang berada bersebelahan dengan bekas dermaga Ujunggenteng untuk oleh-oleh yang di rumah.  Ikan-ikan segar seperti lobster, layur, jongjolong, bawal bisa Anda dapatkan dengan harga lebih murah.  Bagi Anda pecinta ikan besar seperti jangilus, pari atau hiu sekalipun, Anda bisa memanjakan diri kuliner "daging putih" yang non-kolesterol ini di sini. (dewa)



Memanjakan Diri JJS dan Belanja di Atas Tanah Genting Ujunggenteng, Pakidulan Sukabumi


Pengunjung  dari Prodi PBSI S2 UNSUR jalan-jalan santai (jjs)  persis di daerah "heureut "(genteng) menuju Tempat Pelelangan Ikan Ujunggenteng
Mungkin banyak menyangka toponimi (penamaan daerah) Ujunggenteng erat kaitannya dengan nama benda yang biasa dipakai  sebagai peneduh rumah dari tanah liat (disebut genteng dalam bahasa Indonesia atau kenteng pada bahasa Sunda.  Ternyata keliru.  Pabrik genteng terkenal adalah daerah Jatiwangi  di Majalengka, bukan di wilayah pakidulan Sukabumi ini.

Genteng (bahasa Sunda)  berarti heureut di antara dua nu rubak (sempit di antara yang lebar). Untuk memudahkan ilustrasi, mari cermati  wawangsalan dalam bahasa Sunda, yaitu nyiruan "genteng" cangkengna, masing mindeng pulang anting. Isi wawangsalan yang dimaksud adalah papanting (serangga).  Serangga terdiri atas 3 bagian yakni kepala (cephal), dada (thorax) dan perut (abdomen). Antara dada dan perut ada bagian yang genteng atau heureut (kecil) persis pada bagian pinggangnya.  Gambaran serangga ini bisa untuk menjelaskan kondisi daratan wilayah Ujunggenteng. Istilah genteng dalam bahasa Sunda sendiri bila diterjemahkan ke  dalam bahasa Indonesia  lebih merujuk pada makna dua tanah sempit yakni tanah genting.
Nyiruan/papanting (lebah) merupakan serangga "genteng" cangkengna (pinggangnya). Memisahkan antara dada (thorax) dan bagian perut (abdomen)
Adalah Panama (di benua Amerika) merupakan tanah genting terkenal karena meringkas jarak lumayan panjang.  Terusan Panama strategis digunakan untuk keperluan lalu-lintas pelayaran dunia.  Berkat terusan ini, jarak setara 13.000 km (setara 13 kali panjang pulau Jawa) berhasil dipangkas.

Sebagai contoh, jika kapal Anda akan berlayar dari San Francisco (Pantai Barat/Samudra Pasifik)  menuju kota New York (Pantai Timur AS/Samudra Atlantik) melalui jalur konvensional yaitu Selat Magelhaens (di ujung benua Amerika dan tidak melalui terusan ini) maka jarak perjalanannya menjadi 22.500 km (14.000 mil). Sedangkan jika memanfaatkan terusan maka jaraknya hanya menjadi 9.500 km (6.000 mil) saja!
Pos Perwakilan TNI AU berada di tanah genting Ujunggenteng
Tanah genting lainnya Suez (di Mesir) merupakan jalan pintas dari Eropa ke Asia.  Semenanjung Malaya di Asia Tenggara memiliki  tanah genting Kra di Patani Thailand Selatan.  Di Indonesia, Sulawesi barangkali memiliki tanah genting cukup panjang, namun tak ada terusan di sini.  Bila Anda dari Palu hendak ke Poso yang jaraknya relatif dekat, maka harus mengelilingi Gorontalo, Manado dan Bitung bila dengan kapal laut.
Di Ujunggenteng pun tak ada terusan. Nama Ujung berkaitan dengan daratan menjorok ke lautan relatif dekat hanya sekitar 2 km. Nama genteng sendiri  merupakan  tanah genting sempit di antara bekas dermaga tua di sisi barat dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Ujunggenteng di sisi timur.  Jaraknya sekitar 100 m. Di bekas dermaga  menyerupai  teluk itu dijadikan lokasi berlabuhnya perahu-perahu nelayan.  Bekas dermaga tua  persis berada di depan Pos Perwakilan TNI-AU Lanud Atang Senjaya, Ujunggenteng.
Ujunggenteng, tanah genting  di antara dermaga tua dan tempat Pelelangan ikan
Berburu ikan laut segar di TPI
Letak TPI berada di sebelah timur Pos Perwakilan TNI AU Lanud Atang Senjaya.    Suasana di pagi hari cukup ramai.  Perahu-perahu nelayan yang melaut sejak sore hari, pada pagi hari mendarat membawa sejumlah hasil laut.
TPI ramai dikunjungi konsumen dalam berburu ikan laut segar
Ikan-ikan segar yang baru diturunkan dapat Anda beli di sini.  Selain ikan layur populer di pantai selatan, ikan lainnya adalah bawal, tongkol, udang, kuwe, jongjolong, belanak, kakap, blatukak, cumi-cumi, dan sebagainya.  Bagi pecinta ikan-ikan besar, Anda bisa dimanjakan oleh ikan jangilus, ikan pari, atau ikan hiu.  Lobster pun dijumpai di pasar ikan ini.
Ikan segar bisa diperoleh secara langsung dari nelayan baru mendarat
Selain ikan segar, di pasar ini dijual pula ikan asin seperti: jambal roti.  Bagi suka jeroan ikan, jeroan ikan jangilus dan hiu dijual secara khusus. Begitupula sirip hiu.   Jangan takut ikan yang Anda beli busuk gara-gara  terlampau jauh jarak pulang. Sejumlah pedagang di sekitarnya menyediakan kemasan dus dan es batu untuk kesegaran buah tangan Anda.
Pecinta lobster dimanjakan di TPI Ujunggenteng
Sekedar membedakan dengan bahan protein lainnya seperti daging sapi dan domba (disebut juga daging merah, merah bisa diasumsikan tanda bahaya bagi berisiko penyakit kelebihan lemak), maka daging ikan dikenal sebagai golongan daging putih.  Daging putih bersifat  non-kolesterol sehingga selain nikmat juga aman dikonsumsi.

 
oleh-oleh ikan segar

 
                                                                                      (dadan wahyudin)
Sumber : dikutip dari BLOG PBSI S2 UNSUR

Semalam di Cikundul, Cikalongkulon Yang tak Terlupakan


KAN KUINGAT…DI DALAM HATIKU BETAPA INDAH SEMALAM DI CIANJUR JANJI KASIH YANG T’LAH KAUUCAPKAN PENUH KENANGAN…YANG TAKKAN TERLUPAKAN
TAPI SAYANG… HANYA SEMALAM, BERAT RASA… PERPISAHAN NAMUNKU… TELAH BERJANJI, DI SUATU WAKTU… KITA BERTEMU LAGI

Sayup-sayup terdengar alunan lagu "Semalam di Cianjur" karya Sarwana yang diputar di antara deretan kedai.  Malam itu kami yang sedang mengadakan studi lapangan di desa Majalaya sengaja  menyempatkan diri berkunjung ke Kompleks Makam Dalem Cikundul, leluhur Eyang Suryakancana. Kompleks itu  tak jauh dari Posko kami tinggal, yakni  di depan SD Cijagang.  Waktu dipilih setelah Isya.  Nama Cijagang memiliki makna historis sebagai cikal bakal  lahirnya  kabupaten Cianjur.
Mencari data variasi bahasa di bidang pertanian
Siang hari sebelumnya jadual kami cukup padat. Setelah diterima secara resmi di aula kecamatan, kami pun menyambangi baledesa Majalaya dan diterima aparat desa.  Sepulang dari baledesa, kami berpencar dibagi beberapa kelompok mencari data berupa variasi bahasa digunakan masyarakat setempat, terutama berkaitan dengan kosakata di bidang pertanian. Kumpulan  warga baru memanen padi langsung kami bidik.  Petani palawija yang sedang menjemur kedele pun tak disia-siakan. Begitupula petani ditemui di ladang dan peternak.

Malam itu langit amat cerah dan bertabur bintang. Kesempatan berada di daerah Cijagang kami maksimalkan. Kami mencoba berziarah ke makam Eyang Cikundul. Dipandu oleh Uwa Atang, kerabat kawan kami, yakni PakTamtam, ziarah malam itu tak menemui kesulitan berarti selain nafas yang tersengal akibat tingginya lokasi makam yang dituju.  Uwa sebagai seorang tokoh dan biasa memandu warga hendak ziarah ke sana.  Tak heran, penjaga kompleks Cikundul cukup familiar menyambut kami.
Menggali data kacang kedele
Meniti anak tangga
Uwa Atang, termasuk tokoh yang  cukup mengenal  sejarah Eyang Cikundul.   Ia mengisahkan bahwa kompleks makam itu berada di atas bukit.  Konon jumlah tangganya cukup unik, menurut mereka yang pernah ziarah ke sini,  hitungan jumlah tangganya, tidak selalu sama, ungkapnya.

Kami cukup mendengar saja kisah Uwa Atang, karena nafas kami bergulat dengan anak tangga yang begitu rapat.   Elevasi kemiringan cukup tajam, kaki pun terasa pegal dan nafas kami terengah-engah.  Dada turun-naik, kelelahan, dan jumlah tangga yang cukup banyak serta ukurannya tidak sama membuat peziarah sulit berkonsentrasi menurut kami  merupakan alasan logis mengapa sulit mendapatkan angka pasti  menghitung jumlah anak tangga. Buktinya beberapa kali dialami kami, kami  harus mengambil nafas panjang dengan istirahat sejenak dan terus terang konsentrasi menghitung anak tangga langsung buyar.
 
Akhirnya, dengan susah payah kami tiba di atas bukit. Kalau saja siang hari, mungkin  sketsa keindahan  alam  Cikalongkulon dengan segala pesonanya dapat dinikmati di sini.  Pantai Maleber, tepian sebelah barat waduk Cirata  akan tampak  di ujung cakrawala.  Namun, karena malam hari, hanya kerlap-kerlip lampu dari kejauhan sebagai pertanda suatu daerah pemukiman berpenghuni. Termasuk tampak areal parkir bermandikan cahaya dibalut gelapnya lingkungan sekitar.

Di sini,  berdiri  sebuah bangunan cukup megah dan kokoh  sangat artistik dengan nuansa Islami. Di tempat inipula dimakamkannya  Bupati Cianjur Pertama, Rd Aria Wira Tanu Bin Aria Wangsa Goparana (1677-1691) yang kemudian terkenal dengan nama Dalem Cikundul.   Areal makam yang luasnya sekitar 300 meter itu, berada di atas tanah seluas 4 hektar puncak Bukit Cijagang, Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten  Cianjur, Jawa Barat atau sekitar 17 Km kearah utara dari pusat kota Cianjur.

Setelah meminta izin petugas yang ada, Uwa Atang mencari tempat cocok.  Kami pun  memanjatkan do'a, salawat dan bermunajat dipimpin Uwa Atang.  Dilanjutkan dengan berdzikir mengucapkan kalimat toyibah dan tak lupa memanjatkan permohonan bersifat pribadi diutarakan dalam munajat tersebut.

Setelah ritual selesai, kami pun melihat-lihat seputar kompleks makam. Resik dan anggun. Di sini kami menyaksikan  foto keluarga  Ny. Hj. Yuyun Muslim Taher istrinya Prof. Dr. Muslim Taher (Alm) Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta.  Menurut keterangan salah seorang santri, Ny. Hj Yuyun dikenal sebagai donatur menyulap Kompleks makam menjadi representatif.  Tahun 1985, Kompleks ini direnovasi  menghabiskan dana  sekitar Rp 125 juta. Secara historianya, Ny Hj. Yuyun Muslim Taher  merupakan keluarga  dari Dalem Cikundul.

Puas dengan segala rasa kepenasaran,  kami memutuskan turun.  Anak tangga menanti kembali.  Namun besaran sudut dibentuk   sekarang secara ilmu fisika mendekati nol dan bantuan gravitasi bumi membuat perjalanan turun terasa ringan.  Sedekah kami berikan pada anak-anak yang ada di setiap belokan tangga.

Tampak pada jalur naik, warga  antusias menaiki anak tangga seperti apa dilakukan kami sebelumnya. Mereka peziarah yang baru datang.  Waktu menunjukkan pukul 23.45 WIB. Keramaian tak kunjung surut, malah semakin hangat saja.  Tak cuma orang dewasa atau usia lanjut, anak-anak kecil pun banyak dijumpai digendong oleh orang tuanya.

Perihal rahasia anak tangga, agar pembaca tak terus dipusingkan menghitung urusan jumlah anak tangga, menurut  keterangan Uwa Atang dan  dibenarkan juru kunci  H Akhmad Fudoli, jumlah tangga yang menuju lokasi makam yaitu tangga tahap pertama berjumlah 170 tangga. Kenapa  dibuat 170 buah?

Jumlah itu diambil dari bilangan atau hitungan membaca ayat kursi yang sering dilakukan orang, yang juga sering dilakukan Dalem Cikundul. Adapun jumlah tangga tahap kedua sebanyak 34 buah.

Sekilas tentang  Dalem Cikundul
13105035971299385286
Menurut kisah Uwa Atang dan dikonfirmasikan pada sejumlah referensi termasuk buku Sejarah Cianjur sareng Rd Aria Wira Tanu dalem Cikundul Cianjur (karya Bayu Surianingrat) dan beberapa situs tentang Cikundul,  kisah ini bila dirunut  bermula dari kerajaan Talaga direbut oleh Cirebon dari Negara Pajajaran dalam rangka penyebaran agama Islam (1529).  Tetapi raja-raja Talaga, yaitu Prabu Siliwangi, Mundingsari, Mundingsari Leutik, Pucuk Umum, Sunan Parung Gangsa,  Sunan Wanapri, dan Sunan Ciburang, masih menganut agama lama.

Sunan Ciburang memiliki putra bernama Aria Wangsa Goparana,  merupakan leluhur  Eyang Suryakancana  merupakan orang pertama memeluk  Islam, namun tidak direstui oleh orang tuanya. Akhirnya Aria Wangsa Goparana meninggalkan keraton Talaga  menuju Sagalaherang, Kabupaten Subang.

Di Sagalaherang, mendirikan pondok pesantren untuk menyebarkan agama Islam.  Pada akhir abad ke-17, beliau wafat di Kampung Nangkabeurit, Sagalaherang.   Beliau meninggalkan putra-putri, yaitu:   Djayasasana, Candramanggala, Santaan Kumban, Yudanagar, Nawing Candradirana, Santaan Yudanagara, dan Nyai Mas Murti. Aria Wangsa Goparana, menurunkan para Bupati Cianjur yang bergelar Wira Tanu dan Wiratanu Datar serta para keturunannya.

Putra sulungnya, Djayasasana dikenal hamba saleh.  Setelah dewasa Djayasasana meninggalkan Sagalaherang  diikuti orang dekatnya. Kemudian bermukim di Kampung Cijagang, Cikalongkulon, kabupaten Cianjur. Djayasasana yang bergelar Aria Wira Tanu, menjadi Bupati Cianjur atau Bupati Cianjur Pertama (1677-1691) meninggal dunia antara tahun 1681 -1706 meninggalkan putra-puteri sebanyak 10 orang, masing-masing Dalem Anom (Aria Natamanggala), Dalem Aria Martayuda (Dalem Sarampad),  Dalem Aria Tirta (Di Karawang),  Dalem Aria Wiramanggala (Dalem Tarikolot), Dalem Aria Suradiwangsa (Dalem Panembong), Nyai Mas Kaluntar,  Nyai Mas Karangan,  Nyai Mas Djenggot dan Nyai Mas Bogem.

Siapa Eyang Suryakancana?
Dikisahkan dan dipercaya sebagian masyarakat bahwa Djayasasana  bergelar Aria Wira Tanu  memiliki seorang istri lain dari bangsa jin Islam dan dikaruniai  tiga orang putra-putri, yaitu Raden Eyang Suryakancana yang hingga sekarang dipercayai bersemayam di Gunung Gede atau hidup di alam jin, kini dijadikan nama Universitas Suryakancana Cianjur. Putri kedua, Nyi Mas Endang Kancana alias Endang Sukaesih alias Nyai Mas Kara, bersemayam di Gunung Ceremai, dan Andaka Warusajagad (tetapi ada juga yang menyebutkan bukan putra, tetapi putri bernama Nyai Mas Endang Radja Mantri bersemayam di Karawang).

Dalem Cikundul sebagai leluhurnya sebagian masyarakat Cianjur, yang tidak terlepas dari berdirinya pedaleman  Cianjur. Maka Makam Dalem Cikundul dijadikan tempat ziarah yang kemudian oleh Pemda Cianjur dikukuhkan sebagai obyek wisata ziarah, sehingga banyak dikunjungi penziarah dari pelbagai daerah.

Selain dari daerah-daerah yang ada di P Jawa, banyak juga penziarah dari luar P. Jawa seperti dari Bali,  Sumatra,  Kalimantan, banyak juga wisatawan mancanegara.

Peziarah setiap bulan rata-rata mencapai 30.000 lebih pengunjung, mulai dari kalangan masyarakat bawah, menengah, hingga kelas atas, dan ada pula dari kalangan artis.  Kata Pak Tamtam, juniornya Uwa Atang (keponakan) biasanya  peziarah paling banyak pada bulan Mulud dan kalo perhari, maka  malam Jumat merupakan  waktu "prime time" (utama), apalagi malam Jumat Kliwon dan pada hari Minggu.

Penulis menyaksikan sendiri betapa ramainya kompleks ini, meskipun kehidupan sudah jauh didekap kelambu malam. Deru suara knalpot bus memilih tempat parkir memecah kebekuan malam dan  hilir mudik peziarah maupun aktivitas pedagang di seputar areal parkir membuat kompleks di areal ini  hampir tak pernah tidur.   Fasilitas parkir cukup luas,  kedai oleh-oleh khas Cianjur, juga penginapan tersedia di sini.  Peziarah dapat meluruskan kaki dari rasa pegal di emperan mesjid atau tempat istirahat lainnya.
Insiden sawo
13105066131281021257
Setelah selesai ziarah, Pak Akrom (kawan kami seksi logistik) memborong sawo dan manisan yang banyak dijajakan di sana (pesanan kawan ibu-ibu), sebagai ganti sawo siang tadi.  Bukan apa-apa, ada insiden lucu sebelumnya. Kawan ibu-ibu dibuat ngiler berat berkaitan dengan sawo.  Kisahnya begini,  ada sisa satu sawo saat rombongan tiba di Posko II.  Secara tidak saya sadari, saya  makan habis sawo semata wayang itu. Rasanya kareueut alias manis abisss.  Ternyata  milik si empunya rumah.  Sang empunya rumah kebetulan sedang ziarah ke Banten.  Kawan-kawan dari pagi hanya mengelus-elus tanpa berani memakannya.
Ketidaktahuan itu karena,  saya terakhir datang (setelah memetakan penginapan sama Pak Jun) dan nalurilah bertindak  ….  hemm nikmat nian.   Kawan-kawan hanya menelan ludah.   Untuk mengobati rasa penasaran itu, sawo dijajakan di  kompleks makam Eyang Cikundul itu, sepulang dari ziarah menjadi sasaran pelampiasan  kawan-kawan. Borooong ...  Kisah sawo manis secara manis pula telah dimuat di Majalah Mangle  majalah Sunda terbit di Bandung.

Tapi sayangnya, kami di Cikundul hanya semalam. Berat rasanya meninggalkan daerah sarat histori, sebagai awal mulanya sejarah kabupaten Cianjur berdiri. Esoknya kami bersiap diri untuk  mengikuti pertemuan dengan dosen pengampu mata kuliah  di Cikalongkulon. Sekilas pertemuan itu dapat pembaca telusuri di Kuliah Lapangan Bersama Prof. Yus

Saya dan Pak Jun, orang terakhir pulang dari Cikalongkulon, untuk berpamitan menemui Pak Camat di Kantor Kecamatan Cikalongkulon.

Sayonara, Cikundul! Selamat tinggal Cikalongkulon!
[dadan wahyudin, wakil koordinator studi lapangan Cikakul 2011/diolah dari berbagai sumber]*** 

Sumber : dikutip dari: BLOG PBSI S2 UNSUR CIANJUR

Minggu, 08 Juli 2012

MENJADI PRIBADI YANG SANTUN




Oleh Nina, S.Pd (mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia S2 (PPs) Unsur Cianjur)

dimuat di Majalah ISMA No. 118/22 Mei-21 Juni 2012

Coba kita sama-sama bayangkan, andaikata kita sedang mencari alamat dan bertemu kumpulan remaja, lalu menanyakan alamat rumah Pak Ali di mana? “Tidak tau!!” jawabnya sambil asyik bermain gitar bersama sebayanya. Atau dapat kita rasakan bagaimana hati amat tidak nyaman, bila keluarga kita sedang sakit keras, tetangga lain malahan asyik memutar lagu dangdut dan berjoget berpesta pora? Atau anak tetangga membuang sampah di halaman rumah kita? Adapula anak muda begitu asyiknya mengoprek motor dan memainkan bunyi knalpot keras-keras, di saat kita sedang istirahat siang? Jawabannya pasti amat jengkel, kan..

Pribadi yang santun

Tatakrama diperlukan untuk hidup saling bertetangga dan beraktivitas sehari-hari. Sungguh menyenangkan bila hidup ini penuh tatakrama. Saudara atau teman kita, selalu menunjukkan perangainya baik, wajahnya berseri, ucapannya yang baik, dan perilakunya yang terpuji.

Betapa damai bila kita diberi lingkungan yang kondusif. Saling menasihati, saling membantu dan saling mengingatkan. Saling menolong di kala saudara atau tetangga sedang dilanda kesusahan, saling menasihati dan memberi motivasi di kala kita atau kawan gundah gulana, atau saling mendo’akan satu sama lain. Perilaku sungguh terpuji.

Untuk menjadi pribadi yang santun, ada hal perlu diperhatikan, yaitu: (a) jadilah pribadi terbuka, sederhana, sabar, dan menghargai orag lain. (b) selalu berpikir positif dan berprasangka baik. (c) berbicara sopan santun. (d) tunjukkan mimik muka yang cair dan bersahabat; (e) bersikap legowo, berbesar hati dan menerima masukan orang lain.

Pribadi yang santun harus tertanam dalam diri kita sendiri, bukan atas paksaan atau tekanan pihak lain. Mulailah dengan memberi wajah familiar terhadap siapapun. Sapalah mereka dengan sopan. Jangan menyombongkan diri sendiri. Berusahalah agar bisa menghargai dan menghormati orang lain. Berpikirlah positif dalam menyikapi sesuatu hal. Penuiis yakin, kita dapat menjadi pribadi yang santun yang dicintai orang lain dan memiliki sahabat yang banyak.

Perubahan Tatakrama

Tatakrama dapat berubah bentuknya, dipengaruhi waktu, tempat, struktur sosial, dan situasinya. Sejak zaman dulu hingga sekarang, perilaku tatakrama telah mengalami perubahan. Tatakrama di tanah Pasundan mengalami berbagai masa, yaitu zaman kerajaan, zaman dalem, zaman Belanda, hingga zaman sekarang. Sebagai contoh, tatakrama orang Sunda seperti yang dikemukakan oleh D.K. Adiwinata, tatakrama yang dianggap paling baik dan sopan pada zaman dulu mungkin saja tidak cocok diterapkan pada zaman sekarang. Contohnya saja, apabila bertemu raja atau anggota kerajaan di jalan, orang-orang yang ada di pasar atau di jalan diharuskan langsung duduk bersimpuh sambil menyembah sebagai tanda menghormati dan mengagungkan.

Kini hal itu tidak dilakukan lagi, orang-orang dapat menyambutnya tak lagi berlebihan. Sebagai penghormatan dapat diberikan berupa apresiasi atau menyalaminya. Terhadap bupati, atau pejabat tak ada lagi penghormatan berlebihan yang melecehkan martabat dan hak azasi manusia di mata sesama manusia lainnya.

Tatakrama seperti halnya bahasa dalam perkembangannya selalu dinamis dan digunakan sebagai alat komunikasi dan bergaul dalam masyarakat. Di berbagai tempat dan elemen, seperti di lingkungan rumah, sekolah, rumah sakit, tempat pekerjaan, atau daerah satu dengan lainnya seperti Bandung atau Purwakarta memiliki kebiasaan dan tradisi lokal yang berbeda. Kita sebagai pendatang selayaknya mengetahui adat-istiadat setempat, agar diterima oleh masyarakat setempat.

Kalau kita mengacuhkan, alamat mendapat kesulitan, bahkan diitolak masyarakat di sana. Kita harus pandai menjaga dan menempatkan diri. Hal sesuai dengan pepatah, “di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”.

Begitu tatakrama di rumah sakit, janganlah berbuat gaduh atau berbicara keras. Lembutkan suaramu. Bila menjenguk orang sakit, hiburlah mereka dengan ucapan yang membangkitkan motivasi. Lalu do’akan agar cepat sembuh. Taatilah aturan di rumah sakit, seperti menjenguk di saat jam besuk, tidak membawa anak kecil, tidak gaduh, dan sebagainya. Sementara bila di stadion sepakbola, kita boleh berteriak sepuasnya, namun jangan mengabaikan tatakrama, yaitu tidak mengumpat, memprovokasi atau berbuat anarki. Tatakrama di mesjid, kita sebaiknya menggunakan pakaian bersih, mencuci kaki, memiliki abdas (wudu), dan usahakan selalu berzikir. Ingat, tatakrama di mesjid untuk menghindarkan diri dari berbuat gibah, bermain-main atau hal-hal memubadirkan waktu.

Di sekolah, selain ada aturan tertulis, juga aturan tidak tertulis. Semua itu harus dilaksanakan. Peserta didik harus berseragam sesuai yang telah ditentukan, datang tepat waktu, konsentrasi dalam belajar, mengerjakan tugas, dan lain-lain. Hal yang sama berlaku bagi guru, musti tidak terlambat, penuh dedikasi dan tanggung jawab, mengajari dan mendidik anak-anak.

Pada kehidupan bermasyarakat, terdapat berbagai kelas sosial seperti keadaan sosial-ekonomi, gender, ketokohan, pendidikan, dan lain-lain. Meskipun semua manusia memiliki derajat sama, tetapi penghormatan dan sikap santun perlu kita berikan kepada siapa pun baik mereka lebih tua ataupun lebih muda, orang dikenal ataupun baru dikenal, status sebagai atasan atau bawahan, kepada laki-laki atau perempuan. Dengan selalu menjungjung tatakrama, kita pun bakal dihormati dan disegani oleh mereka. Ini sesuai dengan pepatah, anda sopan, kami segan.

Tatakrama terkait dengan situasi, yakni (a) situasi resmi (formal), misalnya rapat, seminar, ceramah, mengajar, dan lain-lain; (b) tidak resmi (non formal), mengunjungi saudara, menengok orang sakit, dan sebagainya. (c) religius: pengajian, tablig akbar, dan sebagainya. (d) adat-istiadat: acara pernikahan, atau khitanan, (e). Keakraban: bercanda dengan teman, dan sebagainya.

Pada kegiatan resmi seperti rapat, perhatikan tatakramanya. Datang usahakan tidak terlambat, berpakaian rapi. Usahakan membawa buku catatan dan balpoin untuk mencatat jalannya rapat. Jangan menyela pembicaraan. Mintalah izin ketika akan menyanggah atau memberi usul. Jangan meninggalkan rapat, sebelum pimpinan rapat meninggalkan ruangan. Begitu pula saat acara pengajian, pakailah baju muslim, kopeah, bersih dan wangi.

Bila kita memperhatikan hal yang di atas, maka di mana pun kita berada, kita mudah beradaptasi dan akrab dengan warga yang baru ditemui sekalipun. Tatakrama terus mengalami perubahan, tapi  prinsipnya sama, yaitu merupakan nilai-nilai untuk saling menghormati dan menghargai sesama. ********

Kamis, 01 Maret 2012

Carpon : Sakola Panungtung

Ku :  Dadan Wahyudin  [dimuat di Majalah ISMA Cianjur Edisi 115 Tahun XIII, 23 Februari - 22 Maret 2012]

Nyanghareupan Ujian Nasional pikeun kuring kacida weugahna. Lain  sérab ku pasualan UN anu jadi bukur catur balaréa atawa sieun henteu lulus dina ujian, tapi kebek ku kahariwang. Sieun mangsa kalulusan engké minangka sakola panungtungan.

Kahayang mah bisa nyuprih élmu nyiar pangarti téh nepi ka paguron luhur siga batur bisa tolab élmu di Unpad, UPI, ITB atawa didieu di Universitas Suryakancana di kompleks Pasir Gede Cianjur, tapi dalah dikumaha kaayaan kulawarga kuring sakieu waluratna.  Bisa sakola nepi ka danget ieu gé sasatna mah tisusut ti dungdung, maksa-maksakeun manéh.  

Saprak jenatna pun bapa ngantunkeun dina taun kamari, atuh Ema sacara “single parent” pohara papuketna néangan waragad pikeun pangabutuh kulawarga. Ngabajuan jeung nyakolakeun kuring katut dua adi.

Wanci janari leutik, Ema rutin iang ka pasar. Dagang bungbu leuleutikan kayaning bawang beureum, bawang bodas, asem kawak, katuncar, pedes atawa muncang anu ngahaja saacana disodér heula. Milu ngampar di lahan terminal. Wanci haneut moyan, Ema kukud tina dadasarna. 

Ladang tina dagang téh, ku Ema sok dibalanjakeun deui minangka modalna  kana bawang beureum jeung bawang bodas dina poé Senén. Balanjana téh  matuh di Bah Kin Can, grosir sohor di Ciranjang, sésana dibalanjakeun béas jeung kaperluan liana.  Ari Salasa mah tina ladang dagang dikana muncangkeun. Ari Rebo mah jatahna katuncar jeung asem. Kitu wé dina unggal poéna buda-beda, ma’lum disaluyukeun jeung modal anu pas-pasan. Eta pibungbueun ngahaja disodér saeutik-saeutik ku Ema, ngarah kabeuli ku kaum ibu anu rék masak di pilemburan. Kaduana, tina ladang nyodér, aya sésa minangka batina.

Bawang beureum hiji-hiji diasupkeun kana palastik panjang, terus dilampat ku lampu cempor.  Eusina sapuluh dina sarantuy téh.  Tiap lima rantuyan dilampat dihijikeun.   Kuring  sok milu nyodér mantuan Ema bada asar. Kitu ogé adi-adi kuring.

Wanci janari kuring  saged manggul dagangan Ema kana tolombong ka pasar Ciranjang. Di pasar tradisional mah geuning wanci éta téh haneuteun.  Loba nu daragang jeung nu balanja.  Eta wé, aleutan tukang warung anu ti lembur ngahaja ngaborong kolbak sok balanja papaheula, ngarah bisa muka warung isuk keneh cenah. Aya ogé kaluarga anu rék hajat, sok ngaringkid panca-kakina ngahaja balanja ti janari kénéh, ngarah meunang daging sapi atawa hayam seger anu anyaran meuncit ti jagal.  Kitu ogé sayuran ti Cipanas atawa  Caringin kakara diturunkeun masih salaleger matak ngirut anu meuli.

Raména pasar dina wanci janari, lain ukur ramé ku sora nu nawar harga di jongko jeung patingseledekna nu balanja, sora piriwit tukang parkir milu ngahaneutan kaayaan sabudeureuna. Di los daging, tukang daging sapi meni pakupis narima kiriman daging ti jagal  bari nyisit jeung motongan tulang iga pesenan tukang gulé.  Tukang hayam teu kaur rinéh nyacah daging kabereg ku nu balanja. Katangar tukang bubur atawa kupat tahu milu paciweuh laladang digembrong ku langganana milu sasarap. Nu ngajaga kamar mandi di tukangeun pasar ogé milu maréma, teu leupas tina ududna bari diharudum sarung nungguan kencleng jaga kakus kawantu tiris keneh meureun. Berekah ogé pikeun Ema. Lian tinu balanja saliwat, Ema miboga langganan matuh tukang warung urang Tungturunan jeung Jangari anu sok ngaborong sodéran Ema.   

Dagang leutik mah béda jeung waralaba atawa konglomerat anu euyeub ku modal tur fasilitas lengkep.  Tapi berekah, hasilna bisa dipaké balanja pikeun  waragad sapopoe. Sawaréh pikeun kabutuhan sakola.  Ngan, ari waragad sakola di paguron luhur mah tacan kaérong ti mana-mana.  Eta wé basa ngasupkeun kuring sakola ka Aliyah jeung Adi ka SMP, jenatna pun Bapa ngajual domba sajodo. Domba minangka céngcéléngan kulawarga ahirna ledis kiwari ukur kandangna.

“Duh, Gusti. Sabada UN engké, mugi ulah jadi sakola panungtungan…” gerentes haté kuring. Kasawang batur anu sagulang-sagulung ulin jeung diajar, réngsé Ujian Nasional, bakal aub tésting ka paguron luhur boh paguron di dayeuh Bandung atawa Cianjur, terus meureun milu ospék tur kuliah, ahirna diwisuda jaradi sarjana.  Ari kuring anu katelah minangka pupuhu di kelas ogé aktip di Pramuka, sarta miboga rangking, ukur luha-loho ngaligeuh atawa paling hadéna ogé milu nangkring di Pasar Ciranjang ngabantuan tukang parkir sabot nungguan Ema bérés dagangna…

Dunya teu adil. Ari budak ti kulawarga beunghar mah, sakola gampang pisan. Ka sakola kari daékna.  Malah loba nu ukur ngala status jeung gengsi wungkul.  Indit ka sakola garinding pisan. Lian ti reunceum ku asésoris, malah sok marawa motor ka sakola. Aya ogé nu sok mawa mobil, ngarah teu katohyan sok milu parkir di warung Haji Yayan.  Ka sakola ukur gunem catur atawa nangkring di kantin sakola.  Nu diadu-rényomkeun lain sual palajaran sakola, tapi sual sinétron, merek hapé anyar atawa tempat kuliner anu sohor. Soréna teu mulang, da alesan milu bimbingan belajar. Nu nyata mah tingalabring tampolana sok kawénéhan aya di Panté Malébér Cikalong atawa Cipanas ngadon arulin.  Sok manglebarkeun kuring mah, gereget ras inget ka nasib diri nu ragap taya…

Najan kuring katelah Pradana di Ambalan Pramuka,  nu boga ajén bari sok nyumangetan anggota ngarah hirup hurip, geten, ulah céngéng atawa boga sifat luhlah, kiwari mah teu bisa mindingan haté nu tingsérédét jeung tingsareblak beuki deket ka Ujian téh. Teu karasa cimata murubut ragrag. Di sakola, kuring sok dikokolot ku batur sakelas. Tapi dina lebah nyanghareupan sakola panungtung, haté jumerit …

“Ngalamun waé atuh, Wa…,” Kolotrak tulak panto dibuka ku Ema. Lamunan kuring kagebah. Harita poé Minggu, Ema kakara mulang ti pasar. Kuring buru-buru nyusut cimata, miceun katunggara haté. Kuring rikat nurunkeun tolombong nu digandong ku Ema. Eusina gula beureum jeung pedes sakilo keur sodéreun soré jeung béas saléter pikeun nyangu ayeuna. Aya ogé témpé sapotong jeung peda beureum pikeun lalawuhna.

“Sanes, Ma. Nuju milari inspirasi kanggo ngarang. Biasa kanggo ka Majalah Isma sareng cérpén di  Pikiran Rakyat Minggu, tos lami acan ngintun deui,” cekéng téh kapaksa ngabohong, teu wani wakca sual ieu mah ka Ema. Karunya ka Ema bisi kumaha onam, hayoh angot milu mikiran sakola.

“Sok atuh, didu’akeun ku Ema singhasil…,” Kituna téh Ema bari mérénan bahan sodéreun. Béas di kérésék dibuka, satengahna dibahékeun ka nyiru. Ku Ema langsung ditapi.  Sabot Ema ngisikan béas, kuring ngahurungkeun suluh di hawu. Ngarah suluh gancang ngaruhay,  ku kuring ditiupan maké songsong awi.  Ari adi mah tonggoy ngagalambar di tepas.

Poé Senén kuring meunang warta pohara bagjana. Dina upacara bendéra, Bapa Kapala Sakola ngawartakeun yén aya saurang murid di sakola ieu anu kapéto jadi Pinilih Yayasan Budaya Sunda taun ieu.  Yayasan éta mindeng milih barudak kelas 3 di wewengkon Jawa Barat nu boga kaparigelan dina widang ngarang atawa puisi, seni, jeung biantara husus maké basa Sunda. Barudak nyongcolang anu kapilih baris dibéré béasiswa pikeun kuliah di paguron luhur nepi ka jadi sarjana.  

“Déwa….” Saur Bapa Kapala Sakola nyabit-nyabit ngaran kuring dibarengan ku ibur kaleprok. Kabéh paserta upacara malencrong ka kuring. Sakedapan mah kuring asa di pangimpian, olohok ngembang kadu mata simeuteun. Batur kuring gujrud éar surak éak-éakan bari nepakan taktak. Aya ogé nu ngajak sasalaman. Malah sawaréh pirajeuneun rék ngagotong kuring awahing ku reueus ka sohib cenah.

Pangacian kuring harita acan kumpul bener. Kuring kakara eungeuh basa dipanggil ka tengah lapangan dideudeul pangwilujeng ti Bapa Kepala Sakola katut guru-guru sa sakola.

Ari geus surti mah, plong we dunya anu satadina asa heureut meni ngemplong siga jalan gedé sasapuan bengras kawas caang bulan tanggal opat welas. Langit nu tadina angkeub ku reueuk hideung ngadadak lénglang taya aling-aling.  Gusti Alloh Maha Adil.  Pikeun saha waé anu melak kreativitas atawa kahadéan baris ngala hasilna.  Pikeun Alloh mah gampang, perkara anu satadina rudet lir halimun nu nyimbutan, dumadadakan nyinglar sapada harita. Mukakeun jalan hirup manusa nu tadina buntu, cukup ku “kun fayakun”. Jadi, harita langsung jadi. Nu penting mah manusa, ulah bosen ngadunga jeung ihtiar.   ***

 Pasirgedé – Kampus Suryakancana Cianjur

Harapan di Tengah Permasalahan Pendidikan Dasar dan Menengah


oleh


 
      A.    Pengantar
Kondisi rendahnya mutu pendidikan di Indonesia cenderung dibesar-besarkan dan kurang didalami faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Mengapa mutu pendidikan kita rendah? Jawaban yang mudah dan sering dikemukakan adalah kurikulum sering berganti, sarana dan prasarana pendidikan kurang memadai, dan gaji guru rendah. Tanpa memperhatikan faktor-faktor relevansi yang dimaksudkan dengan itu. Padahal ada hal-hal lain yang lebih mendasar yang perlu mendapat perhatian lebih serius. Hal-hal yang mendasar itu yaitu tidak dipraktikkannya ilmu pendidikan dan merajalelanya kecelakaan pendidikan merupakan dua hal yang menjadi akar rendahnya mutu pendidikan tersebut.


B.    Pentip dan Kecelakaan Pendidikan
Tidak dipraktikkannya ilmu pendidikan atau pendidikan tanpa ilmu pendidikan (pentip), yakni tidak dipraktikkannya ilmu pendidikan dalam penyelenggaraan praktik pendidikan di Indonesia. Menurut Prof. Dr. Prayitno, M.Ed., dalam bukunya; “Pendidikan: Dasar, Teori, dan Praksis” (2009 : 1), yaitu bahwa pendidikan kita memerlukan pemenuhan basic need-nya pendidikan, yaitu Ilmu Pendidikan (IP). Pentip sejalan dengan tidak terpenuhinya basic need itu, yang secara langsung mengkerdilkan kehidupan pendidikan, ibarat anak yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga kurang gizi, terkena penyakitan, dan busung lapar.


Kecelakaan pendidikan dapat berbentuk pelecehan dan penganiayaan terhadap peserta didik yang berakibat terhambatnya, bahkan hilangnya kesempatan dan hak-hak pendidikan peserta didik. Tidak boleh masuk sekolah karena tidak bisa membayar SPP, tidak memakai baju seragam, dimarahi dan dihukum karena terlambat/membolos atau tidak mengerjakan pekerjaan rumah, diskors atau bahkan dikeluarkan dari sekolah, semuanya merupakan kecelakaan pendidikan. 


Kaitan dengan SPP, nampaknya bagi pendidikan dasar sudah tidak menjadi masalah krusial karena pemerintah melalui Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Disusul kemudian dengan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar merupakan kebijakan yang mendukung masyarakat atau orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya minimal pendidikan dasar sembilan tahun, yang dibiayai oleh dana APBN melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan bantuan siswa miskin (BSM). Untuk SPP dengan dana BOS tersebut dan transport bagi siswa miskin dengan dana BSM. Sehingga tidak menjadi alasan penyebab terjadinya putus sekolah dasar 9 tahun. Selain untuk pendidikan dasar, kita berharap pula pendidikan menengah dapat dibiayai oleh dana APBN melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tersebut. Karena masih banyak lulusan SMP/MTs yang tidak mampu melanjutkan ke tingkat selanjutnya. Mereka atau orang tua beralasan bahwa biaya pendidikan menengah mahal. Dengan adanya dana BOS bagi SMA/MA/SMK/MAK, maka para siswa yang telah menyelsaikan pendidikan di tingkat SMP/MTs dan sederajat dapat melanjutkan ke SMA/MA/SMK/MAK dan sederajat.


Hak-hak pendidikan peserta didik yaitu mengikuti kegiatan (a) rohani, (b) jasmani, dan (c) berbahasa. Kegiatan rohani meliputi berniat, berkehendak, berpikir, berimajinasi, mengingat, merasa dengan hati, dan mengimani. Kegiatan jasmani meliputi menggerakkan kepala, badan, kaki, tangan, dan seterusnya. Sedangkan kegiatan berbahasa meliputi keterampilan menyimak/mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.


Kembali kepada kecelakaan pendidikan berikutnya. Pada tahun-tahun terakhir ini, kecelakaan pendidikan mencuat melalui praktik menyontek yang ramai diberitakan di Televisi dan Surat Kabar. Kepada para siswa sepertinya dijanjikan bahwa dalam mengerjakan soal-soal ujian, baik ujian sekolah, apalagi ujian nasional (UN) akan memperoleh bantuan jawaban dari pihak tertentu di luar diri mereka sendiri, bahkan ada yang langsung dari guru mereka dan/atau teman mereka atau dari tim sukses yang dibentuk secara khusus untuk itu. Alasan utama yang sering mengemuka atas kegiatan menyontek itu adalah untuk menjaga citra sekolah (agar siswa di sekolah yang dimaksud lulus semuanya), dan/atau untuk meningkatkan peringkat mutu pendidikan di daerah yang dimaksud. Praktik menyontek ini dapat benar-benar menjadi kecelakan pendidikan, mengingat akibat yang ditimbulkannya pada diri peserta didik, yaitu mereka menjadi merasa tidak perlu berdisiplin dalam belajar, tidak perlu bekerja keras untuk mencapai keberhasilan, dan tidak perlu berlaku jujur dalam mencapai sesuatu yang benar (Prayitno, 2009 : 2). Dengan demikian, maka akan hancurlah kunci-kunci dan sendi-sendi kehidupan yang sukses melalui kedisiplinan, kerja keras, kejujuran, ketekunan, dan keuletan.


Mengapa pentip dan kecelakaan pendidikan itu terjadi? Menurut Prayitno (2009 : 2), tanpa menuding salah satu pihak, hal-hal berikut pada umumnya merupakan penyebab yang cukup signifikan, yaitu pendidik tidak dilatih terlebih dahulu untuk melaksanakan tugas-tugasnya (untrained), tidak terlatih dengan baik (undertrained), kurang peduli atas tugas dan kewajibannya (uncommitted), fasilitas pendidikan rendah (underpaid), sikap pragmatism, dan keberatan beban. Semua penyebab tersebut sebenarnya terkait dengan dibiarkannya IP. Karena pentip itulah berbagai praktik pendidikan dilaksanakan menjadi salah, sampai-sampai menimbulkan berbagai kecelakaan pendidikan. Dengan kata lain, pentip harus dilawan dengan pendip, yaitu pendidikan tanpa ilmu pendidikan harus dihancurleburkan melalui pendidikan dengan ilmu pendidikan.


C.    Pengaturan Standar Nasional Pendidikan
Penyelenggaraan pendidikan dengan ilmu pendidikan sekarang ini, kita memiliki segudang harapan terhadap pendidikan tersebut, yaitu sejak diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanan Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta tunjangan kehormatan profesor, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Berkaitan dengan Standar Nasional Pendidikan, Pemerintah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tersebut membentuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).  BSNP telah menunaikan kewajibannya yaitu menyusun Standar Nasional Pendidikan melalui pelaksanakan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut di atas dengan tekhnis pelaksanaannya yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional yakni dengan menetapkan delapan Standar Nasional Pendidikan. Delapan Standar Nasional Pendidikan tersebut, yaitu : (1) Standar Isi, (2) Standar Proses, (3) Standar Kompetensi Lulusan, (4) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, (5) Standar Sarana dan Prasarana, (6) Standar Pengelolaan, (7) Standar Pembiayaan, dan (8) Standar Penilan.


Pendidikan dengan ilmu pendidikan yang dimaksud adalah praktik pendidikan semua lembaga pendidikan dasar dan menengah harus mempedomani dan melaksanakan delapan Standar Nasional Pendidikan tersebut.  Delapan Standar Nasional Pendidikan ini tekhnisnya tertuang dalam Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah/Madrasah (RKA-S/M) serta Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SD/MI, SMP/MTS, dan SMA/MA/SMK/ MAK. KTSP ini sebagai program sekolah/madrasah dalam melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2006 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 dan 23 tahun 2006 tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Dengan demikian, KTSP tersebut sejalan dengan manajemen kurikulum berbasis sekolah atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagaimana yang ditulis oleh Dr. E Mulyasa, M.Pd., dalam bukunya yang berjudul Manajemen Berbasis Sekolah (2002).


Dalam rangka memanajerial program sekolah/madrasah, maka dibutuhkan pemimpin yang mempunyai pengetahuan yang komprehensif tentang penyelenggaraan pendidikan dengan ilmu pendidikan tersebut di atas. Kepala sekolah/madrasah merupakan manajer yang harus dapat melaksanakan pendidikan dengan ilmu pendidikan. Sebagai seorang manajer, maka kepala sekolah/madrasah harus memenuhi standar kepala sekolah/madrasah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah. Untuk memenuhi standar kepala sekolah/madrasah tersebut diperlukan menyiapkanya melalui pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah sebagai suatu tahapan dalam proses penyiapan calon kepala sekolah/madrasah melalui pemberian pengalaman pembelajaran teoretik maupun praktik tentang kompetensi kepala sekolah/madrasah yang diakhiri dengan penilaian sesuai standar nasional sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah.


D.    Penutup
Melalui uraian tersebut di atas, maka harapan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia pada masa yang akan datang menjadi lebih berkarakter baik. Hal ini yang diharapkan oleh kita semua. Oleh karena itu, mari kita perjuangkan oleh semua pihak, baik pemerintah, ormas, yayasan, tokoh pendidikan, orang tua, dan lainnya untuk menuju kepada pendidikan yang menumbuhkembangkan tunas-tunas bangsa menjadi pemimpin bangsa yang berkarakter mulya. Memperjuangkan pendidikan bagi tunas-tunas bangsa yang berkarakter baik tersebut merupakan amal yang sangat mulya. Tentu saja para pejuannya dapat dikategorikan sebagai pahlawan bangsa yang sangat berjasa bagi agama, nusa, dan bangsa. Sekian, terima kasih, semoga bermanfaat. Amien. **




[*] 1. Tenaga Pengajar di Pesantren Persatuan Islam 04 Cianjur
   2. Mahasiswa Pascasarjana (S.2) Universitas Suryakancana Cianjur Semester 3 Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Selasa, 07 Februari 2012

Carpon: KADUHUNG SAGEDE GUNUNG GEDE


karya : Dadan Wahyudin   
(dimuat di koran "TRIBUNJABAR", kaping 31 Januari, 1 sareng 2 Februari 2012 kaca 11)   

Tribun Jabar, Salasa, 31 Januari 2012

PIWURUK GURU téh geuningan karasa ayeuna mah, yén diajar kudu soson-soson, bisi kaduhung jagana.  Béda jeung harta banda, élmu mah moal hésé mamawa. Moal hariwang digarong atawa aya nu nyopét. 
Baheula basa bapa jumeneng kénéh, kuring pada ngogo ku koléha bapa, dipihormat tur dipikaajrih ku balaréa.  Ma’lum bapa  ngagem kalungguhan, kungsi jadi kadés dua periode di wewengkon Cidaun Cianjur Kidul. 
Ayeuna hirup kacida balangsakna. Aya paribasa, jalma mah mending urut jalma sangsara, tinimbang urut jalma beunghar. Tumiba ka diri kuring, rajakaya anu bro di juru bro di panto ngalayah di tengah imah ceuk nu rahul mah moal béak tujuh turunan tétéla korédas sakereles, lir cihujan ragrag kana daun taleus. Sawah, balong tur kebon, cohagna mah satungtung deuleu ti pasir beulah wetan ka pasir béh kulon  ladang ngumpulkeun nalika bapa nyepeng kalungguhan, kiwari taya nu nyésa.  Kuring teu bisa ngokolakeuna. Alatan untung kalah buntung.
Usaha mercayakeun modal ka batur mah loba kabelejogna.  Satadina mah, hayang hirup énténg tina invés saham, hirup geunah kari ucang anggé, unggal bulan teu weleh nampa bagi-hasil atawa pelesiran dina pakansi.
Ari dina promosina mah matak kataji, pinter pisan ngirutna. Usaha pakét ngabibitkeun hayam pelung anu sapakétna ukur 10 juta, jangka dua taun baris balik jinis tur batina mayeng ditransper kunu ngokolakeun ka nu nyimpen modal salila lima taun. Majar manéh téh keur ceuyah, loba pesenan ti mancanegara anu raresepeun ku halimpuna sora hayam, minangka ternak pinunjul teureuh Cianjur.
Kaduana, ancrub dina usaha hayam patelor. Kuring salaku invéstor teu kudu nyaho di mana jeung kumaha miara hayamna,  nu penting mah setor duit pakét ka bank. Lamun panasaran kana rupa hayam atawa kaayaan kandang hayam mah, cukup muka waé internét. Aya poto-potona kumplit, tinggal di-“download”. 
Bulan kahiji mah wayahna sing sabar, acan aya bagi-hasil, da hayam endog mah ngendogna dina mangsa nincak umur 6 bulan. Jadi di bulan katujuh kakara dibéré hasilna.  Itungana kaharti ku akal, nandakeun cirining usaha riil.  Coba tengetan: duit 5 juta cenah dipaké meuli 100 bibit hayam, dina mangsa 6 bulan bakal endogan, produksina ditaksir 50 perséna, sabulana diitung 28 poé, jeung hargana  500 rupia tina saendogna. Ngarah teu kudu ribed, duit bagi-hasil kari ditungguan, baris ditransper langsung kana  nomer rekening séwang-séwangan. 
“Janten tina 100 hayam dikali ukur 50% dikali 28 dinten teras dikali Rp. 500 minangka harga endog, hasilna kénging 700.000 rupia sabulan kanggo Adén. Tah dikali deui 12 sasih pami dina sataun panginten Adén ngeupeul  8.400.000 rupia. Cobi lamun 3 taun pas hayam diapkir, 25.200.000 rupia lebet kana saku Adén, tina jinis ukur 5 juta,” kitu promosi si Odéd harita bari mencétan kalkulator.
“Ari pausahaan meunang bati ti mana?” cekéng téh can pati kaharti.
“Pausahaan tina ladang ngical bibit gé tos untung, da méséran langsung ti patani anu gaduh pancén miara hayam ti DOC nepi ka dara ukur 15.000 rupia, ku pausahaan diical ka invéstor Rp. 50.000, aya langkung 35.000 rupia sanés? Tah, pami hayam ngendog langkung ti saparona,  tur harga di pasar langkung ti 500 rupia sareng gaduh sésa dinten ti étangan 28 dinten, éta minangka bonus pikeun pausahaan. Sareng deuih tiasa ngical hayam apkir sareng gemukna,” cenah teu kireum-kireum ngadoja kuring ku basa anu soméah daréhdéh, abong calo. Kuring bati unggut-unggutan tandaning kaharti.
Prospéktip, kauntungan nikel, balik jinis gancang, teu capé jeung énténg, duit baris balik bari reundeuy anakan incuan ha ha…. nu model kieu cocog  jeung cita-cita kuring, cekéng dina haté.  Béléngéh kuring seuri sorangan.  Emhh, hirup asa kubagja. Kieu ari geus gurat hirup pibeunghareun mah.  
Ayeuna lamun ngandelkeun ladang tina sawah, teu kaérong hasilna. Tilu bulan disambut, biheung kaala biheung moal. Pangpangna hama wereng jeung beurit mahabu taya reureuhna. Kitu usaha séwa parahu teu bisa dibawa lumpat, usum pabaru mah pamayang balayar téh sarieuneun, ombak tingjelegur ngagulung méh sasuhunan imah.
Sawah warisan ti bapa satengahna ahirna dijual pikeun modal pakét hayam. Kaasup kabéh parahu titinggal bapa ogé kapaksa dilégo pikeun usaha miara lauk emas di jaring apung di Panté Malébér Cirata. Invéstor cukup  nyadiakeun modal, teu susah ilubiung miara laukna.  (Antos Sambungan dina Tribun Edisi Rebo (1/2)
 Tribun Jabar, Rebo, 1 Februari 2012
Sambungan ti dinten Salasa (31/1)
Dunya mah teu lurus. Loba pungkal péngkolna. Kitu ogé tabéat jalma, réa ukal ékolna, mindeng kalimpudan ku napsu jeung hawa sarakah.  Aturan anu hadé tur bengras, diarakalan ukur alus dina biwir wungkul. Dina prak-prakana mah mémbléh...  Program pakét tarékah nataharkeun pikeun ngaronjatkeun kasejahteraan rahayat, loba diarakalan pikeun ngarawu duit gedé kalawan gancang.  Geus papada sipating manusa, hayang senang ku jalan énténg.  Tabéat éta diulik ku jalma jahat. Ngarah percaya biasana kiriman duit “bagi-hasil” munggaran mah ngahaja sinah lancar, maksudna ngarah pabéja-béja ka batur.  Beuki euyeub nu jadi anggota beuki loba nu kudu dicumponan, antukna pakét teu kabayar, palakuna mun teu dibui paling minggat.
Eta nu karandapan ku kuring.  Kuring duka invéstor ka sabaraha, nu jelas ukur kabagéan dua bulan transperan duit bagi-hasil téh, kabéhdieukeun lapur. Rék ngalaporkeun ka pulisi, saha nu dilaporkeuna, da si Odéd ukur calo wungkul. Rék diontrog ogé kantorna gé ukur nyéwa ruko anu kiwari geus ganti nu nyéwa. 
Sésa sawah ahirna ledis nungtut dijualan dipaké pangabutuh hirup sapopoé. Ayeuna kari imah butut, anu suratna geus diborahkeun ka réntenir. Imah urut badéga jenatna bapa baheula, anu maot taun kamari kalayan teu boga kulawarga, nya dijadikeun panganjrekan kuring. Geus dua kali si Ejé datang, cenah lamun manéhna datang deui katilu kalina, heug kuring can bisa naur hutang, bakal diusir. Emh, aya ku raja téga ari ucing garong…
Ras nyawang ka mangsa katukang. Jelegurna paul ombak basisir Cidaun umpal-umpalan katara endah ngagenyas. Pamayang sibuk nurunkeun lauk hasil balayar sapeupeuting nyorang sagara pikeun makayaan kulawargana.  Gara-gara kolot teu bisa ngatik ngadidik turta teu nyiapkeun pibekeleun hirup budak ka hareup, jalan hirup kuring pohara tarahalna.  Kétang kuring ogé rumasa.  Taya hojah, gawé ngan ukur ngadudut duit  ti patani atawa pamayang anu buburuh ka bapa.  Duitna dipaké ulin jeung meulian nu teu paruguh.
Nu matak basa disakolakeun ku bapa di Cianjur Kota gé, kawas kuda leupas ti gedogan. Sagala kahayang dianteur. Kuring jadi gedé hulu, hayang meunang pamuji ti batur, yén sanajan kuring asal ti lembur bau lisung nu adek ka laut kidul, dina hal gaul kuring teu éléh ku urang kota.
Sabalikna, kana palajaran justru tibalik, kuring mah kacida weugahna, hésé ngartina, gampang pohona, loba mabalna batan asupna. Lamun kawénéhan aya batur sakelas anu rajin diajar, mindeng dijejeléh.
“Laah, Na. Getol-getol teuing diajar. Persidén geus aya, menteri geus aya, tentara réa, pulisi balatak, paling jadi tukang tambal jiga bapa manéh  ha ha ha…” ceuk kuring ka Asna anu keur ngadekul maca buku bari dipungkas ku seuri ngagakgak. Diigelan ku balad kuring  kawas si  Waton, Sulé, Lépos, jeung si Item tinggaragakgak bangun ku sugema. 
Eta mah kajailan leutik. Dosa kuring nu moal bisa dipohokeun ku Asna, sigana basa ngarebut Andini ti Asna.  Harita Asna minangka Katua OSIS di sakola, Andini sekretarisna. Dua rumaja aktip dina kagiatan sakola. Jajaka jeung wanoja keur ngalaman mamanisna meungkeut katresna minangka cinta munggaran baruntak alatan kuring. Kuring meredih ka bapa kuring sangkan bisa mibanda Andini anu kabeneran bapana koléha bapa kuring. Pa Bisri, bapana Andini ngabandar kalapa di kota Cianjur, anu barangna mindeng  dikiriman ti Cianjur Kidul.  Taya lian beunang ti anak buah bapa di wewengkon Cidaun.
Pikeun mayengna bisnis kalapa tur sérab ku kalungguhan bapa,  Pa Bisri teu bisa pakumaha, najan Andini keukeuh hayang kuliah, ahirna tumarima dikawin kuring. Kuring ka balé nyungcung ngawangun rumah tangga dina umur rumaja kénéh.
Basa Andini direbut ku kuring, Asna katangar ngalanglayung. Tapi najan kitu, Asna getol nyelangan bapana milu nambal, malah mindeng maturan bapana nepi ka peuting. Tamba kesel nungguan pasén, Asna rajeun maca buku di kiosna.   
“Punten…” Gebeg. Kuring reuwas kacida.  Jajantung ratug tutunggulan méh copot sapada harita. Sok sieun si Ejé jadi ngusir.  Imah butut ogé geuning kacida mangpaatna.  Bisa méré martabat kuring salaku kapala kulawarga. Tempat reureuh anak pamajikan. Lamun heug diusir, atuh rék ngiuhan di mana, pamajikan jeung budak dua. Palias ari kudu ngalaman saré di saung kardus atawa kolong jambatan. Ah, rék dilawan, kitu-kitu teuing, rék diasongan bedog sugan. Kuring kabawa napsu!
Barang panto dibuka tétéla lain si Ejé. Haté bungangang.  Horéng budak ngora kakara lulus SMA. Manéhna ngirim ondangan ti Asna, cenah Asna hayang reuni leuleutikan jeung batur sakelas anu mancén tugas atawa nganjrek di wewengkon pakidulan Cianjur Tempatna di pendopo Sindangbarang Ahad hareup.
Barang telek nu ngondang Asna, kuring langsung su’udon. Nyel haté ngahéab. Ukur kekerot, teu bisa pakumaha. Asna ngahaja rék ngawiwirang kuring di hareupeun batur sakelas pédah manéhna geus jugala. Manéhna masih boga haté kadua leutik ka Andini urut bébéné manéhna anu direbut ku kuring. Sanajan hirup aing nangkub, cadu ari kudu serahbongkokan kitu peta mah.   (Antosan sambungana dina Tribun Kemis, 2 Feb 2012)
Tribun Jabar, Kemis, 2 Februari 2012

Sambungan ti dinten Rebo (1/2)
Tétéla geuning….. Asna beda jeung sipat kuring anu teu weléh ngalajur napsu ngumbar amarah. Haténa beresih lir cai gunung ngagenyas hérang taya geuneuk maleukmeuk saeutik-eutik acan. Najan kungsi dinyenyeri ku kuring, éh soléh henteu dendem, daréhdéh jeung akuan teu dibuda-béda ka sakumna baturna kaasup kuring.
Asna mah motékar, kuring gé muji. Najan hirup kumbuh di sisi jalan mindeng mantuan nambal jeung bapana  sarta ukur tamat SMA, kiwari Asna jeneng. Sikep disiplin  tur tulatén anu ngancik dina dirina geus nganteurkeun jadi pangusaha béngkél nu boga ajén sakabupatén Cianjur. Asna rék ngagarap wewengkon basisir Cianjur Kidul kayaning Naringgul, Agrabinta, Sindangbarang jeung Cidaun pikeun “ekspansi” usaha béngkélna.  Lian ti éta, Asna boga niat ngajeujeuhkeun batur sakelasna anu masih kénéh ngaligeuh atawa teu boga gawé matuh, utamana anu nganjrek di pakidulan, rék diajak usaha babarengan.  Sakalian Asna ménta do’ana réhna bulan hareup rék indit jarah ka tanah suci sakulawarga.
Réngsé ngawangkong ngalor-ngidul, batur-batur Asna anu butuh pakasaban ku Asna diajak ngobrol sacara pribadi minangka wawancara. Batur-batur séjén nu boga gawé merenah mah tuluy uplek ngaguar mangsa éndah di sakola baheula. Kuring satadina mah rék mabal kasieunan, ku sikep Asna sakitu soméahna teu jadi.  
“Dupi, Adén kersa nyepeng Kapala Bengkel Cabang Cidaun? Supados caket sareng kulawargi…” ceuk Asna meni daria naker bari tetep ngaadénkeun ka kuring. Kuring samar polah. Sakedapan ngembang kadu rék dibéré jabatan sakitu luhungna.   
“Aduhh, punten sanes nolak pangasih, Pa Asna. Rumaos abdi mah jalmi teu gaduh kaparigelan nanaon, ku badé diangkena janten padamel ogé kalintang bingahna,” ceuk kuring teu sakara-kara dumadakan bisa basa lemes, biasana garihal jeung saengabna. Lain teu daék jadi Kapala, duméh teu boga élmu nanaon komo kudu ngamenej pagawé sagala. Kumaha mun bangkrut? Mending gé jadi pagawé biasa wé, kitu galécok haté. Si Junéd mah pantes dipersén Kapala Béngkél di Agrabinta kapan lulusan tehnik Suryakancana, kitu ogé si Deni di Naringgul manéhna jebolan tehnik Itenas Bandung.
“Kinten-kinten cocog di posisi mana Dén, supados abdi gampil metakeun karyawan kanggo di cabang Cidaun? Wios kepala cabang Cidaun urang eusi ku padamel ti pusat,” ceuk Asna bari ngagutret nyentangan format  eusian wawancara.
“Ah, abdi mah wios wé atuh bagian ngahampelas  atanapi ngelap mobil anu atos diservis wé, éta gé manawi kaanggo..” ceuk kuring tungkul.  Haté bati kumejot jeung gereget dibéré kalungguhan sakitu hadéna, bet ditolak. Kaduhung sagedé gunung gedé,  Baheula kedul diajar, teu nurut ka kolot jeung ka guru.  Sakola saukur lulus wungkul, teu boga kaparigel nanaon. Ahirna sué. Kasempetan moal datang dua kali, ceuk si Sulé mah.  
Lamunan kuring kagebah ku sora resleting basa Asna muka kantongna.
“Ieu gajih Adén anu munggaran!” ceuk Asna bari ngasongkeun amplop bodas.
“Naha? Kapan abdina ogé teu acan damel?” cekéng semu kerung, teu wani nampa, bisi kuring disangka baramaén ilubiung dina gempungan ieu. Sudi teuing!
“Sadaya karyawan abdi mah, gajihna dipayunkeun, supados suhud sareng tiasa kanggo modal di damel,” ceuk Asna daria bari mémérés kantongna.
“Sareng ieu, katineung ti pun bojo, anu teu tiasa nyarengan. Lumayan kanggo boro-boroeun anu di bumi. Sumangga ditampi!” ceuk Asna méré kontang anu eusina emi, abon, sardencis, sirop, tauco, jeung rupa-rupa kueh. Panyangka téh, Asna ngahaja rék ngabeubeutkeun martabat kuring pédah hirup kuring ayeuna keur sué atawa masih kénéh boga duriat ka Andini. Panyangka kuring nyalahan. Sabot ditanyakeun ka si Junéd jeung si Déni, singhoréng papada mareunang amplop jeung kontang. Kitu ogé si Waton balad kuring anu sapopoé nyalo di stamplat Sindangbarang diperenahkeun jadi Satpam di béngkél cabang Sindangbarang sarua pada kabéré..
“Aya keur ngalunasan si Ejé jeung pangbagéa nu di imah,” gerentes haté satengah lumpat muru angkutan anu ka Cidaunkeun.  Hayang geura-geura amprok jeung Andini katut barudak.  Rumasa lamokot ku dosa. Geus moporékeun jeung nganyenyeri wungkul. Turta jangji rék ngawangun kahirupan anu hadé, bari miceun sagala su’udon.  
Alhamdulillah Gusti, kuring diparengkeun boga batur anu haat bisa méré sumanget turta ngajait tina lamping anu lungkawing. Sajajalaneun angkutan mapay basisir,  tingjelegurna ombak sagara Hindia nu satadina pikakeueungeun katara éndah mawa harepan.. ****     
     (Pasirgede kasorenakeun, Kampus Suryakancana, Cianjur)