oleh
Ridho Hamzah, S.Pd. [dimuat di Harian Umum Radar Suabumi pada Selasa, 28 Februari 2012.]
A. Pengantar
Kondisi
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia cenderung dibesar-besarkan dan kurang
didalami faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Mengapa mutu pendidikan kita
rendah? Jawaban yang mudah dan sering dikemukakan adalah kurikulum sering
berganti, sarana dan prasarana pendidikan kurang memadai, dan gaji guru rendah.
Tanpa memperhatikan faktor-faktor relevansi yang dimaksudkan dengan itu.
Padahal ada hal-hal lain yang lebih mendasar yang perlu mendapat perhatian
lebih serius. Hal-hal yang mendasar itu yaitu tidak dipraktikkannya ilmu
pendidikan dan merajalelanya kecelakaan pendidikan merupakan dua hal yang
menjadi akar rendahnya mutu pendidikan tersebut.
B. Pentip
dan Kecelakaan Pendidikan
Tidak
dipraktikkannya ilmu pendidikan atau pendidikan tanpa ilmu pendidikan (pentip),
yakni tidak dipraktikkannya ilmu pendidikan dalam penyelenggaraan praktik
pendidikan di Indonesia. Menurut Prof. Dr. Prayitno, M.Ed., dalam bukunya; “Pendidikan:
Dasar, Teori, dan Praksis” (2009 : 1), yaitu bahwa pendidikan kita
memerlukan pemenuhan basic need-nya pendidikan, yaitu Ilmu Pendidikan
(IP). Pentip sejalan dengan tidak terpenuhinya basic need itu, yang
secara langsung mengkerdilkan kehidupan pendidikan, ibarat anak yang tidak
terpenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga kurang gizi, terkena penyakitan, dan busung
lapar.
Kecelakaan
pendidikan dapat berbentuk pelecehan dan penganiayaan terhadap peserta didik
yang berakibat terhambatnya, bahkan hilangnya kesempatan dan hak-hak pendidikan
peserta didik. Tidak boleh masuk sekolah karena tidak bisa membayar SPP, tidak
memakai baju seragam, dimarahi dan dihukum karena terlambat/membolos atau tidak
mengerjakan pekerjaan rumah, diskors atau bahkan dikeluarkan dari sekolah,
semuanya merupakan kecelakaan pendidikan.
Kaitan
dengan SPP, nampaknya bagi pendidikan dasar sudah tidak menjadi masalah krusial
karena pemerintah melalui Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan
Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun
dan Pemberantasan Buta Aksara. Disusul kemudian dengan Peraturan Pemerintah No.
47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar merupakan kebijakan yang mendukung
masyarakat atau orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya minimal pendidikan
dasar sembilan tahun, yang dibiayai oleh dana APBN melalui Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) dan bantuan siswa miskin (BSM). Untuk SPP dengan dana BOS
tersebut dan transport bagi siswa miskin dengan dana BSM. Sehingga tidak menjadi
alasan penyebab terjadinya putus sekolah dasar 9 tahun. Selain untuk pendidikan
dasar, kita berharap pula pendidikan menengah dapat dibiayai oleh dana APBN
melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tersebut. Karena masih banyak lulusan
SMP/MTs yang tidak mampu melanjutkan ke tingkat selanjutnya. Mereka atau orang
tua beralasan bahwa biaya pendidikan menengah mahal. Dengan adanya dana BOS
bagi SMA/MA/SMK/MAK, maka para siswa yang telah menyelsaikan pendidikan di
tingkat SMP/MTs dan sederajat dapat melanjutkan ke SMA/MA/SMK/MAK dan
sederajat.
Hak-hak
pendidikan peserta didik yaitu mengikuti kegiatan (a) rohani, (b) jasmani, dan
(c) berbahasa. Kegiatan rohani meliputi berniat, berkehendak, berpikir,
berimajinasi, mengingat, merasa dengan hati, dan mengimani. Kegiatan jasmani meliputi
menggerakkan kepala, badan, kaki, tangan, dan seterusnya. Sedangkan kegiatan berbahasa
meliputi keterampilan menyimak/mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Kembali
kepada kecelakaan pendidikan berikutnya. Pada tahun-tahun terakhir ini,
kecelakaan pendidikan mencuat melalui praktik menyontek yang ramai diberitakan
di Televisi dan Surat Kabar. Kepada para siswa sepertinya dijanjikan bahwa
dalam mengerjakan soal-soal ujian, baik ujian sekolah, apalagi ujian nasional
(UN) akan memperoleh bantuan jawaban dari pihak tertentu di luar diri mereka
sendiri, bahkan ada yang langsung dari guru mereka dan/atau teman mereka atau
dari tim sukses yang dibentuk secara khusus untuk itu. Alasan utama yang
sering mengemuka atas kegiatan menyontek itu adalah untuk menjaga citra
sekolah (agar siswa di sekolah yang dimaksud lulus semuanya), dan/atau
untuk meningkatkan peringkat mutu pendidikan di daerah yang dimaksud. Praktik
menyontek ini dapat benar-benar menjadi kecelakan pendidikan, mengingat akibat
yang ditimbulkannya pada diri peserta didik, yaitu mereka menjadi merasa tidak
perlu berdisiplin dalam belajar, tidak perlu bekerja keras untuk mencapai
keberhasilan, dan tidak perlu berlaku jujur dalam mencapai sesuatu yang benar
(Prayitno, 2009 : 2). Dengan demikian, maka akan hancurlah kunci-kunci dan
sendi-sendi kehidupan yang sukses melalui kedisiplinan, kerja keras, kejujuran,
ketekunan, dan keuletan.
Mengapa
pentip dan kecelakaan pendidikan itu terjadi? Menurut Prayitno (2009 : 2),
tanpa menuding salah satu pihak, hal-hal berikut pada umumnya merupakan
penyebab yang cukup signifikan, yaitu pendidik tidak dilatih terlebih dahulu
untuk melaksanakan tugas-tugasnya (untrained), tidak terlatih dengan
baik (undertrained), kurang peduli atas tugas dan kewajibannya (uncommitted),
fasilitas pendidikan rendah (underpaid), sikap pragmatism, dan keberatan
beban. Semua penyebab tersebut sebenarnya terkait dengan dibiarkannya IP.
Karena pentip itulah berbagai praktik pendidikan dilaksanakan menjadi salah,
sampai-sampai menimbulkan berbagai kecelakaan pendidikan. Dengan kata lain,
pentip harus dilawan dengan pendip, yaitu pendidikan tanpa ilmu pendidikan
harus dihancurleburkan melalui pendidikan dengan ilmu pendidikan.
C. Pengaturan
Standar Nasional Pendidikan
Penyelenggaraan
pendidikan dengan ilmu pendidikan sekarang ini, kita memiliki segudang harapan
terhadap pendidikan tersebut, yaitu sejak diundangkan dan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
2008 tentang Pendanan Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta tunjangan
kehormatan profesor, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
dan Penyelenggaraan Pendidikan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.
Berkaitan
dengan Standar Nasional Pendidikan, Pemerintah Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tersebut membentuk Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP
telah menunaikan kewajibannya yaitu menyusun Standar Nasional Pendidikan melalui
pelaksanakan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut di atas dengan
tekhnis pelaksanaannya yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional yakni dengan menetapkan delapan Standar Nasional Pendidikan. Delapan
Standar Nasional Pendidikan tersebut, yaitu : (1) Standar Isi, (2) Standar Proses,
(3) Standar Kompetensi Lulusan, (4) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan,
(5) Standar Sarana dan Prasarana, (6) Standar Pengelolaan, (7) Standar
Pembiayaan, dan (8) Standar Penilan.
Pendidikan
dengan ilmu pendidikan yang dimaksud adalah praktik pendidikan semua lembaga
pendidikan dasar dan menengah harus mempedomani dan melaksanakan delapan
Standar Nasional Pendidikan tersebut.
Delapan Standar Nasional Pendidikan ini tekhnisnya tertuang dalam Rencana
Kerja dan Anggaran Sekolah/Madrasah (RKA-S/M) serta Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) SD/MI, SMP/MTS, dan SMA/MA/SMK/ MAK. KTSP ini sebagai program
sekolah/madrasah dalam melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun
2006 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
dan 23 tahun 2006 tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Dengan
demikian, KTSP tersebut sejalan dengan manajemen kurikulum berbasis sekolah
atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagaimana yang ditulis oleh Dr. E
Mulyasa, M.Pd., dalam bukunya yang berjudul Manajemen Berbasis Sekolah
(2002).
Dalam
rangka memanajerial program sekolah/madrasah, maka dibutuhkan pemimpin yang
mempunyai pengetahuan yang komprehensif tentang penyelenggaraan pendidikan
dengan ilmu pendidikan tersebut di atas. Kepala sekolah/madrasah merupakan
manajer yang harus dapat melaksanakan pendidikan dengan ilmu pendidikan. Sebagai
seorang manajer, maka kepala sekolah/madrasah harus memenuhi standar kepala
sekolah/madrasah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah. Untuk memenuhi
standar kepala sekolah/madrasah tersebut diperlukan menyiapkanya melalui pendidikan
dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah sebagai suatu tahapan dalam proses
penyiapan calon kepala sekolah/madrasah melalui pemberian pengalaman
pembelajaran teoretik maupun praktik tentang kompetensi kepala sekolah/madrasah
yang diakhiri dengan penilaian sesuai standar nasional sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan
Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah.
D. Penutup
Melalui
uraian tersebut di atas, maka harapan pendidikan dasar dan menengah di
Indonesia pada masa yang akan datang menjadi lebih berkarakter baik. Hal ini
yang diharapkan oleh kita semua. Oleh karena itu, mari kita perjuangkan oleh
semua pihak, baik pemerintah, ormas, yayasan, tokoh pendidikan, orang tua, dan lainnya
untuk menuju kepada pendidikan yang menumbuhkembangkan tunas-tunas bangsa
menjadi pemimpin bangsa yang berkarakter mulya. Memperjuangkan pendidikan bagi
tunas-tunas bangsa yang berkarakter baik tersebut merupakan amal yang sangat mulya.
Tentu saja para pejuannya dapat dikategorikan sebagai pahlawan bangsa yang
sangat berjasa bagi agama, nusa, dan bangsa. Sekian, terima kasih, semoga
bermanfaat. Amien. **
[*] 1. Tenaga Pengajar di Pesantren
Persatuan Islam 04 Cianjur
2. Mahasiswa Pascasarjana (S.2) Universitas
Suryakancana Cianjur Semester 3 Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar