BERBAKTI DAN MENGABDI

BERBAKTI DAN MENGABDI

Senin, 23 Januari 2012

Mengamati Buah Hati Beroleh Bahasa



13272536351489030944
Uthon, berusia 2 thn: pengalaman lingkungan menstimulus munculnya kosakata barunya

oleh: Dadan Wahyudin

Penguasaan kosakata sangat penting bagi seorang penulis sebagai bekal untuk membuat tulisan.  Dengan penguasaan kosakata yang banyak kita bisa memilih kata (diksi) yang bisa menggelitik, menggoda, menghibur, puitis, menyindir, menyayat atau menghadirkan suasana lara nestapa para pembaca.

Ternyata bahasa diperoleh sejak bayi dilahirkan. Pemerolehan bahasa (language acquisition) berbeda dengan pembelajaran bahasa (language learning).  Pembelajaran bahasa biasanya diperoleh melalui usaha dan sadar melalui proses belajar, maka pemerolehan bahasa cenderung terjadi secara alamiah, secara tidak sadar didapat dari lingkungan keluarganya.

Proses ini terjadi sebenarnya sudah diperoleh bayi sejak kecil.  Sesungguhnya bayi sejak kecil  sudah “disetel’ secara biologis untuk berkomunikasi.  Dalam buku Chaer (Psikolinguistik, 2005: 226-227) digambarkan bahwa sejak bayi sudah menanggapi suara dan gerak-gerik ibunya. Pada usia dua minggu, bayi sudah bisa membedakan wajah ibunya dari orang lain.  Pada usia tiga minggu, “senyum sosial” diberikan bayi  sebagai reaksi sosial terhadap rangsangan dari luar.

Bulan kedua bayi sudah sering “berdekut” (cooing) jika dia dalam keadaan senang, sebab ada yang menemani, mengajak bicara, atau mengajak bermain.  Ibu seyogianya selalu menyesuaikan diri mengajak “dialog” lebih ditingkatkan.  Di usia 12 minggu bayi mulai mengeluarkan suara balasan jika bundanya memberi tanggapan terhadap suaranya.

Tahap berikutnya, bayi mulai memahami “pola-gilir” ci-luk-ba sekaligus mempertajam kemampuan bayi memahami “pola gilir” dalam komunikasi tersebut. Menjelang usia 1 tahun anak mulai memegang kendali dalam interaksi. Ia belajar menyatakan keinginannya, termasuk bisa menyuarakan bunyi aaaa pertanda merasa senang dan eeee sebagai bentuk protes.

bayi 2 tahun
Mula-mula anak belajar kata pertama. Pengucapannya terbatas pada kemampuan artikulasinya.  Pada bayi, ada sejumlah hambatan dalam melisankan beberapa fonem seperti fonem /k/ belum mampu diucapkan, tetapi sudah bisa menyebutkan fonem /t/. Kalimat satu kata biasa disebut holofrasis oleh pakar sering dianggap bukan kalimat, karena maknanya sukar diprediksikan.


[ikan] diucapkan /itan/    [naittuda] —– naik kuda       [tupu-tupu] —- kupu-kupu

Kemudian disusul dengan kalimat dua kata, tiga kata, empat kata dan lima kata. Kali ini mengamati perilaku berbahasa Uthon, buah hati kami, berusia 2 tahun 0 bulan,  dalam 100 tuturan yang direkam kemudian ditranskripsi  dengan  pengantar bahasa Sunda diperoleh kalimat didominasi oleh kalimat satu kata dan dua kata, seperti di bawah ini.

kalimat satu kata
doba
1.6
domba
domba
canes
1.7
sanes
bukan
dipotonan
1.8
dipotongan
dipotong-potong

kalimat dua kata
obin adeun
2.5
mobil ageung
mobil besar
obin polici
2.6
mobil polisi
mobil polisi
teyeta api
2.7
kareta api
kereta api
di uyuh
2.8
di luhur
di atas

kalimat tiga kata
nambut capeda aica
3.1
nambut sapedah aisah
meminjam sepedah aisah
papah nuju naon
3.2
papah nuju naon
papah sedang apa

kalimat empat kata
di tebon aya tating
4.1
di kebon aya cacing
di kebun ada cacing
tica tica di dindin
4.2
cicak-cicak di dinding
cicak-cicak di dinding

Selain mampu menyusun kalimat hingga lima kata, ia telah mampu menyusun struktur kalimat utuh bersubjek dan predikat, seperti: [dede yuyuyumpatan/dede lulumpatan/dede berlari-lari], [dede angkat ta mejid/dede pergi ke mesjid].  

Dilihat dari kategori sintaksisnya, terdapat tuturan: 
(1) kata benda (nomina) berupa [estim payun]— eskrim payung, [tuda] — kuda; 
(2) kata kerja (verba) : [yuyumpatan]—lulumpatan–berlari-lari,  
      [dipotonan]—dipotong-potong;
(3) keterangan (adverbia) seperti: [di uyuh] — di luhur — di atas,  
      [ta tebon]—ka kebon — ke kebun;
(4) kata sifat (adjektiva) seperti: [cae] — sae — bagus; [cotat] —coklat
     adeun —ageung—besar;  
(5) kata bilangan (numeralia), seperti:  [ceueur] –seueur - banyak
     [capuyuh] — sapuluh –sepuluh.

Brown (dalam Owens, 2008) membagi tahap pemerolehan bahasa anak berdasarkan MLU anak menjadi sepuluh tahap, yaitu :

1.     Tahap I MLU (1—1,5)  pada usia 12—22  bulan
2.     Tahap II MLU (1,5—2,0) pada usia 22—27 bulan….dst

Jumlah kosakata diperoleh Uthon (2 tahun) dalam 100 tuturan memiliki  nilai MLU (Mean Length of Utterance ) 1,74 berada pada Tahap II sesuai rentang usianya pada saat diambil data berusia 2 tahun atau 24 bulan.
Semakin tinggi MLU anak maka semakin tinggilah penguasaan berbahasa anak tersebut.***

Jumat, 06 Januari 2012

Menyambangi Desa Karya Mukti Campaka Cianjur




STUDI LAPANGAN mata kuliah Sastra dan Budaya Nusantara Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia (S2) Universitas Suryakancana Cianjur kali ini dibagi dua lokasi. Untuk mahasiswa semester satu melakukan kunjungan ke Kampung Naga di Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya dan Ciungwanara di Ciamis hari Rabu-Kamis, 4-5 Januari 2012. Adapun semester dua mengambil lokasi di Desa Karyamukti Kecamatan Campaka kabupaten Cianjur. Kegiatan ini dilaksanakan satu hari sebelum semester satu, hari Selasa-Rabu, 3-4 Januari 2012.
Melewati stasiun legendaris
Perjalanan menuju desa Karyamukti Campaka, meskipun tak jauh dari kampus Suryakancana namun tak kalah mengesankan dan eksotis. Desa cantik dibentengi puluhan bukit dan lembah ini cukup ditempuh 35 km ke arah Sukabumi. Lalu  mengambil arah ke kiri menuju kecamatan Campaka dari kota Cianjur. Bila dihitung dari ibukota propinsi maka jaraknya 95 km dan sekitar 145 km dari ibukota Jakarta.

Hamparan kebun téh hijau menghimbau, berselang pohon sengon milik penduduk membuat perjalanan menyusuri jalan penuh kelokan ini tak terasa lelah. Sesekali tampak aktivitas penduduk di ladang bertanam palawija dan mengolah petak sawah sempit dihimpit deretan dua tebing curam. Juga pemandangan para pemetik teh bercengkrama, sembari menebar senyum optimis mewarnai perjalanan kami.


1325857928450800895
              stasiun legendaris Lampegan, menanti aktivitas lagi (google)
Perjalanan melalui Warungkondang ini akan melewati rel kereta api dengan stasiun legendaris, yaitu Lampegan. Di sini terdapat terowongan Lampegan sepanjang 630 m dibangun tahun 1879-1882. Terowongan ini dilanda erosi sehingga praktis jalur kereta api Sukabumi-Cianjur terhenti di tahun 2001. Ini satu dari lima terowongan kereta api yang cukup eksotis di Jawa Barat setelah terowongan Sasaksaat (Purwakarta), terowongan Hendrik, Wilhelmina, dan Juliana di jalur Banjar-Pangandaran yang juga berhenti beroperasi sejak tahun 1982.

Nama Lampegan sendiri konon berasal saat kereta api dikemudikan tuan bule akan masuk terowongan, penduduk setempat mengingatkan dengan berteriak, “lampe tuan…lampe tuan” atau “lampu agan” (lampu tuan) maksudnya menyalakan lampu sehingga terhindar dari gelap gulita disergap pekatnya lorong terowongan. Namun kata yang familiar didengar penduduk adalah lampegan digunakan hingga kini. Sayangnya, kami tidak mengambil dokumentasi di sini.

Situs Megalit terbesar se-Asia Tenggara 
Desa Karyamukti memiliki luas 1.864.230 ha. Di sebelah utara dengan kecamatan Cibeber, di selatan dengan kecamatan Sukanagara. Adapun di sebelah barat berbatasan dengan desa Cimenteng dan desa Wangun Jaya di sebelah timurnya. Desa memiliki kantor desa di Babakanlapang ini terletak di ketinggian 825-1200 mdpl dengan curah hujan 3333 mm/tahun,


13257656691546774428
Di tangga Balai Desa Karyamukti

Secara administratif, desa Karyamukti memiliki 33 RT, 9 RW  dan 4 Dusun. Karena topografi berbukit-bukit, tak salah nama empat dusun pun bernuansa pegunungan, yaitu Dusun Gunung Mas, Dusun  Gunung Sari, Dusun Gunung Malati dan Dusun Gunung Padang. Nama dusun terakhir kini mulai kesohor di kalangan arkeolog, geologi, budayawan, maupun wisata sejarah karena terdapat situs Megalit yang konon merupakan terbesar di Asia Tenggara.

Situs megalit Gunung Padang terletak 6 km dari Babakanlapang lokasi Balai Desa Karyamukti. Untuk mencapainya, bisa menggunakan kendaraan pribadi. Mobil pribradi  bisa langsung ke pintu gerbang. Akan tetapi bila musim hujan, jalan berbatu menjadi licin. Namun jangan takut,  tempat parkir sebelum gerbang terletak begitu masuk kampung tersedia.

1325858433721338758
Meski  naik 400 anak tangga, peserta nampak ceria
Anda harus melewati batuan andesit hampir 400 anak tangga dengan sudut elevasi cukup curam, namun kini sudah dibuat tangga dari beton yang dibuat melingkar sehingga agak landai. Namun tak urung, ketinggian sekitar 90 meter dari gerbang membuat dada sesak dan melelahkan. Beberapa kali kami beristirahat menahan nafas, sembari memandang kebun téh di sekelilingnya.

Tatkala tiba di puncak, hamparan batu yang konon berusia 1500-2500 tahun silam terhampar berserakan. Batu-batu tersusun menyerupai ruang-ruang. Bahkan ada menyerupai   alat-alat musik Sunda seperti: bonang dan kecapi. Batu-batu itu terhujam kuat.

Gerimis turun tak menghalangi menikmati eksotisme situs ini. Perjalanan melelahkan seakan terbayar sudah oleh kepuasan menikmati panorama di atas bukit ini.  Kabut perlahan turun, membuat kami beringsut untuk turun.

Melihat posisi batu ini mengingatkan kita pada bangunan megalit serupa Stonehenge di Inggris atau kompleks Machu Picchu di Peru berada di puncak bukit tinggi. Menurut Pak Dedi, petugas yang menjaga situs ini, Situs Gunung Padang pertama kali dilaporkan oleh peneliti Belanda: N.J. Krom tahun 1914, namun belum ditindaklanjuti.



13257701702099385384
Kegembiraan di Areal Situs Megalit Gunung Padang

Tatkala ada penebangan kayu di lokasi ini, penduduk melaporkan kepada pemerintah daerah setempat tahun 1979. Gerbang dan bangunan pun dibangun di bekas rumah milik Pak Dedi yang dibeli Pemda. Dari paparannya menyatakan bahwa situs ini kemungkinan  dibangun pada masa Prabu Siliwangi dari Kerajaan Sunda sekitar abad XV, dengan menggunakan batu-batu berusia 1500 tahun. Menurut para ahli, relevansi ini dibuktikan ada guratan senjata kujang dan ukiran tapak harimau pada dua bilah batu, sebagai ciri khas era ini.


13258604541745591807
Bersama Pak Dedi, petugas/kuncen Gn Padang
Namun ada pendapat lain menyatakan bahwa kebudayaan megalit erat kaitannya dengan Kebudayaan Dongson (500 SM) di Vietnam dan Asia Tenggara. Bila mengacu pada pendapat ini, maka situs ini diprediksi telah ada  hampir 2500 tahun silam.
 
Kilau emas di desa Karyamukti
Desa Karyamukti termasuk desa agraris di mana mata pencaharian penduduknya sebagai petani, sebagian lagi menyambi beternak dan bekerja di kebun téh. Wanita dewasa umumnya bekerja sebagai pemetik téh.

Mata pencaharian termasuk satu poin budaya, yang menarik di Karyamukti banyaknya penduduk bermata pencaharian penambang batu emas. Bunyi tumbukan batu dan bangunan pengolah batu emas disebut gulundung atau rental banyak dijumpai di daerah ini. Tua, muda, pria wanita, tampak bekerja memecahkan batu diyakini mengandung emas ini di pelataran rumah masing-masing.


1325858173537545669
Salah seorang peserta serius menggali data dengan sesepuh setempat

Perut bumi desa Karyamukti kaya emas. Untuk mendapatkan batu ini, penduduk menambang dengan cara masuk ke lorong bawah tanah sedalam 70-100 meter ke bawah tanah secara vertikal dan 60-100 m horizontal dan berliku mirip lubang tikus.


Batu ditambang secara manual menggunakan tatah. Sebelumnya, mereka membawa perbekalan logistik dan blower untuk sirkulasi oksigen dan kegerahan selama satu dua hari di dalam tanah. Ada beberapa daerah penambangan emas di desa Karyamukti, baik penambangan umum maupun dikelola perusahaan.

Penduduk dapat pula bekerja dengan perusahaan dengan sistem bagi-hasil batu diperoleh. Batu-batu ini dapat diolah di mesin pengolahan emas baik dengan cara menyewa atau milik sendiri. Sebelumnya batu-batu ini dipecahkan secara manual sebesar batu split, kemudian dimasukan ke mesin rental selama 12 jam bersama wik dan dipijit untuk mendapatkan bijih emas.

Bijih emas awalnya berwarna putih menjadi kuning berkilau setelah dibakar. Lazimnya orang berusaha, adakalanya kandungan emasnya tinggi, kadang sedikit, bahkan ada pula yang “nyabok” (tak ada bijih emas  sedikitpun).

Tradisi dan budaya
Sebagaimana desa-desa di Kabupaten Cianjur, tradisi dan budaya Sunda buhun masih terjaga, meskipun ada pengaruh modernitas dan globalisasi. Dinamika penduduk terutama penambang emas, sebagian berasal dari penduduk luar mewarnai akulturasi budaya dan dialek bahasa.

Peserta studi lapangan mencoba mendapatkan data dengan mendatangi tokoh, sesepuh dan praktisi berkaitan dengan unsur budaya dan sastra yang ada di daerah ini. Termasuk mencoba mencari data  adat ritual berikut "parancah" atau "jangjawokan" (jampe) masih digunakan dalam menyembuhkan orang sakit, bercocok tanam, memanen, membangun rumah, atau hajatan. Namun beberapa “parancah” atau “jangjawokan” sudah diselaraskan dengan kehidupan religius mayoritas muslim penduduknya diganti  shalawat berisi puji dan doa.  Begitu pula tukang sawer, beluk, kuncen, atau paraji yang masih melestarikan teks lisan kidung, tembang, jampe, tak luput menjadi bidikan peserta studi lapangan.  Atau lantunan dilakukan ibu-ibu dalam "marende" bayinya.

1325858780529436067
Prof. Dr. H. Yus Rusyana, memberi evaluasi kegiatan

Peserta studi lapangan berkesempatan mendengarkan paparan tentang  kisah Kerajaan Sunda yang bermula di Jampangmanggu (Cikalong), Silsilah Cikundul, hingga Kerajaan Pajajaran dan tokoh raja-rajanya.  Acara ini bertepatan dengan pengajian rutin diadakan warga setempat di malam harinya.

Esoknya dilanjutkan ke penambangan emas untuk mencari pengayaan data kehidupan dialami penambang baik pahit getir maupun kebahagiaan diperoleh, terutama mendapat hasil muncekil.

Di akhir kegiatan, Peserta studi lapangan mendapat pengayaan materi sastra dan budaya Sunda dari Prof. Dr. H. Yus Rusyana yang sengaja datang ke lokasi sekaligus memberi evaluasi kegiatan. Laporan ini nantinya disusun sebagai bahan pengayaan budaya dan sastra Sunda, khususnya di “wewengkon” Kabupaten Cianjur sebagai salah satu barometer budaya Sunda di tatar Pasundan. *** (Dadan Wahyudin, pimpinan rombongan peserta/koresponden Sduadua unsur)