BERBAKTI DAN MENGABDI

BERBAKTI DAN MENGABDI

Rabu, 17 Oktober 2012

Semalam di Cikundul, Cikalongkulon Yang tak Terlupakan


KAN KUINGAT…DI DALAM HATIKU BETAPA INDAH SEMALAM DI CIANJUR JANJI KASIH YANG T’LAH KAUUCAPKAN PENUH KENANGAN…YANG TAKKAN TERLUPAKAN
TAPI SAYANG… HANYA SEMALAM, BERAT RASA… PERPISAHAN NAMUNKU… TELAH BERJANJI, DI SUATU WAKTU… KITA BERTEMU LAGI

Sayup-sayup terdengar alunan lagu "Semalam di Cianjur" karya Sarwana yang diputar di antara deretan kedai.  Malam itu kami yang sedang mengadakan studi lapangan di desa Majalaya sengaja  menyempatkan diri berkunjung ke Kompleks Makam Dalem Cikundul, leluhur Eyang Suryakancana. Kompleks itu  tak jauh dari Posko kami tinggal, yakni  di depan SD Cijagang.  Waktu dipilih setelah Isya.  Nama Cijagang memiliki makna historis sebagai cikal bakal  lahirnya  kabupaten Cianjur.
Mencari data variasi bahasa di bidang pertanian
Siang hari sebelumnya jadual kami cukup padat. Setelah diterima secara resmi di aula kecamatan, kami pun menyambangi baledesa Majalaya dan diterima aparat desa.  Sepulang dari baledesa, kami berpencar dibagi beberapa kelompok mencari data berupa variasi bahasa digunakan masyarakat setempat, terutama berkaitan dengan kosakata di bidang pertanian. Kumpulan  warga baru memanen padi langsung kami bidik.  Petani palawija yang sedang menjemur kedele pun tak disia-siakan. Begitupula petani ditemui di ladang dan peternak.

Malam itu langit amat cerah dan bertabur bintang. Kesempatan berada di daerah Cijagang kami maksimalkan. Kami mencoba berziarah ke makam Eyang Cikundul. Dipandu oleh Uwa Atang, kerabat kawan kami, yakni PakTamtam, ziarah malam itu tak menemui kesulitan berarti selain nafas yang tersengal akibat tingginya lokasi makam yang dituju.  Uwa sebagai seorang tokoh dan biasa memandu warga hendak ziarah ke sana.  Tak heran, penjaga kompleks Cikundul cukup familiar menyambut kami.
Menggali data kacang kedele
Meniti anak tangga
Uwa Atang, termasuk tokoh yang  cukup mengenal  sejarah Eyang Cikundul.   Ia mengisahkan bahwa kompleks makam itu berada di atas bukit.  Konon jumlah tangganya cukup unik, menurut mereka yang pernah ziarah ke sini,  hitungan jumlah tangganya, tidak selalu sama, ungkapnya.

Kami cukup mendengar saja kisah Uwa Atang, karena nafas kami bergulat dengan anak tangga yang begitu rapat.   Elevasi kemiringan cukup tajam, kaki pun terasa pegal dan nafas kami terengah-engah.  Dada turun-naik, kelelahan, dan jumlah tangga yang cukup banyak serta ukurannya tidak sama membuat peziarah sulit berkonsentrasi menurut kami  merupakan alasan logis mengapa sulit mendapatkan angka pasti  menghitung jumlah anak tangga. Buktinya beberapa kali dialami kami, kami  harus mengambil nafas panjang dengan istirahat sejenak dan terus terang konsentrasi menghitung anak tangga langsung buyar.
 
Akhirnya, dengan susah payah kami tiba di atas bukit. Kalau saja siang hari, mungkin  sketsa keindahan  alam  Cikalongkulon dengan segala pesonanya dapat dinikmati di sini.  Pantai Maleber, tepian sebelah barat waduk Cirata  akan tampak  di ujung cakrawala.  Namun, karena malam hari, hanya kerlap-kerlip lampu dari kejauhan sebagai pertanda suatu daerah pemukiman berpenghuni. Termasuk tampak areal parkir bermandikan cahaya dibalut gelapnya lingkungan sekitar.

Di sini,  berdiri  sebuah bangunan cukup megah dan kokoh  sangat artistik dengan nuansa Islami. Di tempat inipula dimakamkannya  Bupati Cianjur Pertama, Rd Aria Wira Tanu Bin Aria Wangsa Goparana (1677-1691) yang kemudian terkenal dengan nama Dalem Cikundul.   Areal makam yang luasnya sekitar 300 meter itu, berada di atas tanah seluas 4 hektar puncak Bukit Cijagang, Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten  Cianjur, Jawa Barat atau sekitar 17 Km kearah utara dari pusat kota Cianjur.

Setelah meminta izin petugas yang ada, Uwa Atang mencari tempat cocok.  Kami pun  memanjatkan do'a, salawat dan bermunajat dipimpin Uwa Atang.  Dilanjutkan dengan berdzikir mengucapkan kalimat toyibah dan tak lupa memanjatkan permohonan bersifat pribadi diutarakan dalam munajat tersebut.

Setelah ritual selesai, kami pun melihat-lihat seputar kompleks makam. Resik dan anggun. Di sini kami menyaksikan  foto keluarga  Ny. Hj. Yuyun Muslim Taher istrinya Prof. Dr. Muslim Taher (Alm) Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta.  Menurut keterangan salah seorang santri, Ny. Hj Yuyun dikenal sebagai donatur menyulap Kompleks makam menjadi representatif.  Tahun 1985, Kompleks ini direnovasi  menghabiskan dana  sekitar Rp 125 juta. Secara historianya, Ny Hj. Yuyun Muslim Taher  merupakan keluarga  dari Dalem Cikundul.

Puas dengan segala rasa kepenasaran,  kami memutuskan turun.  Anak tangga menanti kembali.  Namun besaran sudut dibentuk   sekarang secara ilmu fisika mendekati nol dan bantuan gravitasi bumi membuat perjalanan turun terasa ringan.  Sedekah kami berikan pada anak-anak yang ada di setiap belokan tangga.

Tampak pada jalur naik, warga  antusias menaiki anak tangga seperti apa dilakukan kami sebelumnya. Mereka peziarah yang baru datang.  Waktu menunjukkan pukul 23.45 WIB. Keramaian tak kunjung surut, malah semakin hangat saja.  Tak cuma orang dewasa atau usia lanjut, anak-anak kecil pun banyak dijumpai digendong oleh orang tuanya.

Perihal rahasia anak tangga, agar pembaca tak terus dipusingkan menghitung urusan jumlah anak tangga, menurut  keterangan Uwa Atang dan  dibenarkan juru kunci  H Akhmad Fudoli, jumlah tangga yang menuju lokasi makam yaitu tangga tahap pertama berjumlah 170 tangga. Kenapa  dibuat 170 buah?

Jumlah itu diambil dari bilangan atau hitungan membaca ayat kursi yang sering dilakukan orang, yang juga sering dilakukan Dalem Cikundul. Adapun jumlah tangga tahap kedua sebanyak 34 buah.

Sekilas tentang  Dalem Cikundul
13105035971299385286
Menurut kisah Uwa Atang dan dikonfirmasikan pada sejumlah referensi termasuk buku Sejarah Cianjur sareng Rd Aria Wira Tanu dalem Cikundul Cianjur (karya Bayu Surianingrat) dan beberapa situs tentang Cikundul,  kisah ini bila dirunut  bermula dari kerajaan Talaga direbut oleh Cirebon dari Negara Pajajaran dalam rangka penyebaran agama Islam (1529).  Tetapi raja-raja Talaga, yaitu Prabu Siliwangi, Mundingsari, Mundingsari Leutik, Pucuk Umum, Sunan Parung Gangsa,  Sunan Wanapri, dan Sunan Ciburang, masih menganut agama lama.

Sunan Ciburang memiliki putra bernama Aria Wangsa Goparana,  merupakan leluhur  Eyang Suryakancana  merupakan orang pertama memeluk  Islam, namun tidak direstui oleh orang tuanya. Akhirnya Aria Wangsa Goparana meninggalkan keraton Talaga  menuju Sagalaherang, Kabupaten Subang.

Di Sagalaherang, mendirikan pondok pesantren untuk menyebarkan agama Islam.  Pada akhir abad ke-17, beliau wafat di Kampung Nangkabeurit, Sagalaherang.   Beliau meninggalkan putra-putri, yaitu:   Djayasasana, Candramanggala, Santaan Kumban, Yudanagar, Nawing Candradirana, Santaan Yudanagara, dan Nyai Mas Murti. Aria Wangsa Goparana, menurunkan para Bupati Cianjur yang bergelar Wira Tanu dan Wiratanu Datar serta para keturunannya.

Putra sulungnya, Djayasasana dikenal hamba saleh.  Setelah dewasa Djayasasana meninggalkan Sagalaherang  diikuti orang dekatnya. Kemudian bermukim di Kampung Cijagang, Cikalongkulon, kabupaten Cianjur. Djayasasana yang bergelar Aria Wira Tanu, menjadi Bupati Cianjur atau Bupati Cianjur Pertama (1677-1691) meninggal dunia antara tahun 1681 -1706 meninggalkan putra-puteri sebanyak 10 orang, masing-masing Dalem Anom (Aria Natamanggala), Dalem Aria Martayuda (Dalem Sarampad),  Dalem Aria Tirta (Di Karawang),  Dalem Aria Wiramanggala (Dalem Tarikolot), Dalem Aria Suradiwangsa (Dalem Panembong), Nyai Mas Kaluntar,  Nyai Mas Karangan,  Nyai Mas Djenggot dan Nyai Mas Bogem.

Siapa Eyang Suryakancana?
Dikisahkan dan dipercaya sebagian masyarakat bahwa Djayasasana  bergelar Aria Wira Tanu  memiliki seorang istri lain dari bangsa jin Islam dan dikaruniai  tiga orang putra-putri, yaitu Raden Eyang Suryakancana yang hingga sekarang dipercayai bersemayam di Gunung Gede atau hidup di alam jin, kini dijadikan nama Universitas Suryakancana Cianjur. Putri kedua, Nyi Mas Endang Kancana alias Endang Sukaesih alias Nyai Mas Kara, bersemayam di Gunung Ceremai, dan Andaka Warusajagad (tetapi ada juga yang menyebutkan bukan putra, tetapi putri bernama Nyai Mas Endang Radja Mantri bersemayam di Karawang).

Dalem Cikundul sebagai leluhurnya sebagian masyarakat Cianjur, yang tidak terlepas dari berdirinya pedaleman  Cianjur. Maka Makam Dalem Cikundul dijadikan tempat ziarah yang kemudian oleh Pemda Cianjur dikukuhkan sebagai obyek wisata ziarah, sehingga banyak dikunjungi penziarah dari pelbagai daerah.

Selain dari daerah-daerah yang ada di P Jawa, banyak juga penziarah dari luar P. Jawa seperti dari Bali,  Sumatra,  Kalimantan, banyak juga wisatawan mancanegara.

Peziarah setiap bulan rata-rata mencapai 30.000 lebih pengunjung, mulai dari kalangan masyarakat bawah, menengah, hingga kelas atas, dan ada pula dari kalangan artis.  Kata Pak Tamtam, juniornya Uwa Atang (keponakan) biasanya  peziarah paling banyak pada bulan Mulud dan kalo perhari, maka  malam Jumat merupakan  waktu "prime time" (utama), apalagi malam Jumat Kliwon dan pada hari Minggu.

Penulis menyaksikan sendiri betapa ramainya kompleks ini, meskipun kehidupan sudah jauh didekap kelambu malam. Deru suara knalpot bus memilih tempat parkir memecah kebekuan malam dan  hilir mudik peziarah maupun aktivitas pedagang di seputar areal parkir membuat kompleks di areal ini  hampir tak pernah tidur.   Fasilitas parkir cukup luas,  kedai oleh-oleh khas Cianjur, juga penginapan tersedia di sini.  Peziarah dapat meluruskan kaki dari rasa pegal di emperan mesjid atau tempat istirahat lainnya.
Insiden sawo
13105066131281021257
Setelah selesai ziarah, Pak Akrom (kawan kami seksi logistik) memborong sawo dan manisan yang banyak dijajakan di sana (pesanan kawan ibu-ibu), sebagai ganti sawo siang tadi.  Bukan apa-apa, ada insiden lucu sebelumnya. Kawan ibu-ibu dibuat ngiler berat berkaitan dengan sawo.  Kisahnya begini,  ada sisa satu sawo saat rombongan tiba di Posko II.  Secara tidak saya sadari, saya  makan habis sawo semata wayang itu. Rasanya kareueut alias manis abisss.  Ternyata  milik si empunya rumah.  Sang empunya rumah kebetulan sedang ziarah ke Banten.  Kawan-kawan dari pagi hanya mengelus-elus tanpa berani memakannya.
Ketidaktahuan itu karena,  saya terakhir datang (setelah memetakan penginapan sama Pak Jun) dan nalurilah bertindak  ….  hemm nikmat nian.   Kawan-kawan hanya menelan ludah.   Untuk mengobati rasa penasaran itu, sawo dijajakan di  kompleks makam Eyang Cikundul itu, sepulang dari ziarah menjadi sasaran pelampiasan  kawan-kawan. Borooong ...  Kisah sawo manis secara manis pula telah dimuat di Majalah Mangle  majalah Sunda terbit di Bandung.

Tapi sayangnya, kami di Cikundul hanya semalam. Berat rasanya meninggalkan daerah sarat histori, sebagai awal mulanya sejarah kabupaten Cianjur berdiri. Esoknya kami bersiap diri untuk  mengikuti pertemuan dengan dosen pengampu mata kuliah  di Cikalongkulon. Sekilas pertemuan itu dapat pembaca telusuri di Kuliah Lapangan Bersama Prof. Yus

Saya dan Pak Jun, orang terakhir pulang dari Cikalongkulon, untuk berpamitan menemui Pak Camat di Kantor Kecamatan Cikalongkulon.

Sayonara, Cikundul! Selamat tinggal Cikalongkulon!
[dadan wahyudin, wakil koordinator studi lapangan Cikakul 2011/diolah dari berbagai sumber]*** 

Sumber : dikutip dari: BLOG PBSI S2 UNSUR CIANJUR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar