KAN
KUINGAT…DI DALAM HATIKU BETAPA INDAH SEMALAM DI CIANJUR JANJI KASIH
YANG T’LAH KAUUCAPKAN PENUH KENANGAN…YANG TAKKAN TERLUPAKAN
TAPI SAYANG… HANYA SEMALAM, BERAT RASA… PERPISAHAN NAMUNKU… TELAH BERJANJI, DI SUATU WAKTU… KITA BERTEMU LAGI
Sayup-sayup
terdengar alunan lagu "Semalam di Cianjur" karya Sarwana yang diputar
di antara deretan kedai. Malam itu kami yang sedang mengadakan studi
lapangan di desa Majalaya sengaja menyempatkan diri berkunjung ke
Kompleks Makam Dalem Cikundul, leluhur Eyang Suryakancana. Kompleks itu
tak jauh dari Posko kami tinggal, yakni di depan SD Cijagang. Waktu
dipilih setelah Isya. Nama Cijagang memiliki makna historis sebagai
cikal bakal lahirnya kabupaten Cianjur.
- Mencari data variasi bahasa di bidang pertanian
Siang
hari sebelumnya jadual kami cukup padat. Setelah diterima secara resmi
di aula kecamatan, kami pun menyambangi baledesa Majalaya dan diterima
aparat desa. Sepulang dari baledesa, kami berpencar dibagi beberapa
kelompok mencari data berupa variasi bahasa digunakan masyarakat
setempat, terutama berkaitan dengan kosakata di bidang pertanian.
Kumpulan warga baru memanen padi langsung kami bidik. Petani palawija
yang sedang menjemur kedele pun tak disia-siakan. Begitupula petani
ditemui di ladang dan peternak.
Malam
itu langit amat cerah dan bertabur bintang. Kesempatan berada di daerah
Cijagang kami maksimalkan. Kami mencoba berziarah ke makam Eyang
Cikundul. Dipandu oleh Uwa Atang, kerabat kawan kami, yakni PakTamtam,
ziarah malam itu tak menemui kesulitan berarti selain nafas yang
tersengal akibat tingginya lokasi makam yang dituju. Uwa sebagai
seorang tokoh dan biasa memandu warga hendak ziarah ke sana. Tak heran,
penjaga kompleks Cikundul cukup familiar menyambut kami.
- Menggali data kacang kedele
Meniti anak tangga
Uwa
Atang, termasuk tokoh yang cukup mengenal sejarah Eyang Cikundul.
Ia mengisahkan bahwa kompleks makam itu berada di atas bukit. Konon
jumlah tangganya cukup unik, menurut mereka yang pernah ziarah ke sini,
hitungan jumlah tangganya, tidak selalu sama, ungkapnya.
Kami
cukup mendengar saja kisah Uwa Atang, karena nafas kami bergulat dengan
anak tangga yang begitu rapat. Elevasi kemiringan cukup tajam, kaki
pun terasa pegal dan nafas kami terengah-engah. Dada turun-naik,
kelelahan, dan jumlah tangga yang cukup banyak serta ukurannya tidak
sama membuat peziarah sulit berkonsentrasi menurut kami merupakan
alasan logis mengapa sulit mendapatkan angka pasti menghitung jumlah
anak tangga. Buktinya beberapa kali dialami kami, kami harus mengambil
nafas panjang dengan istirahat sejenak dan terus terang konsentrasi
menghitung anak tangga langsung buyar.
Akhirnya,
dengan susah payah kami tiba di atas bukit. Kalau saja siang hari,
mungkin sketsa keindahan alam Cikalongkulon dengan segala pesonanya
dapat dinikmati di sini. Pantai Maleber, tepian sebelah barat waduk
Cirata akan tampak di ujung cakrawala. Namun, karena malam hari,
hanya kerlap-kerlip lampu dari kejauhan sebagai pertanda suatu daerah
pemukiman berpenghuni. Termasuk tampak areal parkir bermandikan cahaya
dibalut gelapnya lingkungan sekitar.
Di
sini, berdiri sebuah bangunan cukup megah dan kokoh sangat artistik
dengan nuansa Islami. Di tempat inipula dimakamkannya Bupati Cianjur
Pertama, Rd Aria Wira Tanu Bin Aria Wangsa Goparana (1677-1691) yang
kemudian terkenal dengan nama Dalem Cikundul. Areal makam yang luasnya
sekitar 300 meter itu, berada di atas tanah seluas 4 hektar puncak
Bukit Cijagang, Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan
Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat atau sekitar 17 Km kearah
utara dari pusat kota Cianjur.
Setelah
meminta izin petugas yang ada, Uwa Atang mencari tempat cocok. Kami
pun memanjatkan do'a, salawat dan bermunajat dipimpin Uwa Atang.
Dilanjutkan dengan berdzikir mengucapkan kalimat toyibah dan tak lupa
memanjatkan permohonan bersifat pribadi diutarakan dalam munajat
tersebut.
Setelah
ritual selesai, kami pun melihat-lihat seputar kompleks makam. Resik
dan anggun. Di sini kami menyaksikan foto keluarga Ny. Hj. Yuyun
Muslim Taher istrinya Prof. Dr. Muslim Taher (Alm) Rektor Universitas
Jayabaya, Jakarta. Menurut keterangan salah seorang santri, Ny. Hj
Yuyun dikenal sebagai donatur menyulap Kompleks makam menjadi
representatif. Tahun 1985, Kompleks ini direnovasi menghabiskan dana
sekitar Rp 125 juta. Secara historianya, Ny Hj. Yuyun Muslim Taher
merupakan keluarga dari Dalem Cikundul.
Puas
dengan segala rasa kepenasaran, kami memutuskan turun. Anak tangga
menanti kembali. Namun besaran sudut dibentuk sekarang secara ilmu
fisika mendekati nol dan bantuan gravitasi bumi membuat perjalanan turun
terasa ringan. Sedekah kami berikan pada anak-anak yang ada di setiap
belokan tangga.
Tampak
pada jalur naik, warga antusias menaiki anak tangga seperti apa
dilakukan kami sebelumnya. Mereka peziarah yang baru datang. Waktu
menunjukkan pukul 23.45 WIB. Keramaian tak kunjung surut, malah semakin
hangat saja. Tak cuma orang dewasa atau usia lanjut, anak-anak kecil
pun banyak dijumpai digendong oleh orang tuanya.
Perihal
rahasia anak tangga, agar pembaca tak terus dipusingkan menghitung
urusan jumlah anak tangga, menurut keterangan Uwa Atang dan dibenarkan
juru kunci H Akhmad Fudoli, jumlah tangga yang menuju lokasi makam
yaitu tangga tahap pertama berjumlah 170 tangga. Kenapa dibuat 170
buah?
Jumlah
itu diambil dari bilangan atau hitungan membaca ayat kursi yang sering
dilakukan orang, yang juga sering dilakukan Dalem Cikundul. Adapun
jumlah tangga tahap kedua sebanyak 34 buah.
Sekilas tentang Dalem Cikundul
Menurut kisah Uwa Atang dan dikonfirmasikan pada sejumlah referensi termasuk buku Sejarah Cianjur sareng Rd Aria Wira Tanu dalem Cikundul Cianjur
(karya Bayu Surianingrat) dan beberapa situs tentang Cikundul, kisah
ini bila dirunut bermula dari kerajaan Talaga direbut oleh Cirebon dari
Negara Pajajaran dalam rangka penyebaran agama Islam (1529). Tetapi
raja-raja Talaga, yaitu Prabu Siliwangi, Mundingsari, Mundingsari
Leutik, Pucuk Umum, Sunan Parung Gangsa, Sunan Wanapri, dan Sunan
Ciburang, masih menganut agama lama.
Sunan
Ciburang memiliki putra bernama Aria Wangsa Goparana, merupakan
leluhur Eyang Suryakancana merupakan orang pertama memeluk Islam,
namun tidak direstui oleh orang tuanya. Akhirnya Aria Wangsa Goparana
meninggalkan keraton Talaga menuju Sagalaherang, Kabupaten Subang.
Di
Sagalaherang, mendirikan pondok pesantren untuk menyebarkan agama
Islam. Pada akhir abad ke-17, beliau wafat di Kampung Nangkabeurit,
Sagalaherang. Beliau meninggalkan putra-putri, yaitu: Djayasasana,
Candramanggala, Santaan Kumban, Yudanagar, Nawing Candradirana, Santaan
Yudanagara, dan Nyai Mas Murti. Aria Wangsa Goparana, menurunkan para
Bupati Cianjur yang bergelar Wira Tanu dan Wiratanu Datar serta para
keturunannya.
Putra
sulungnya, Djayasasana dikenal hamba saleh. Setelah dewasa Djayasasana
meninggalkan Sagalaherang diikuti orang dekatnya. Kemudian bermukim di
Kampung Cijagang, Cikalongkulon, kabupaten Cianjur. Djayasasana yang
bergelar Aria Wira Tanu, menjadi Bupati Cianjur atau Bupati Cianjur
Pertama (1677-1691) meninggal dunia antara tahun 1681 -1706 meninggalkan
putra-puteri sebanyak 10 orang, masing-masing Dalem Anom (Aria
Natamanggala), Dalem Aria Martayuda (Dalem Sarampad), Dalem Aria Tirta
(Di Karawang), Dalem Aria Wiramanggala (Dalem Tarikolot), Dalem Aria
Suradiwangsa (Dalem Panembong), Nyai Mas Kaluntar, Nyai Mas Karangan,
Nyai Mas Djenggot dan Nyai Mas Bogem.
Siapa Eyang Suryakancana?
Dikisahkan
dan dipercaya sebagian masyarakat bahwa Djayasasana bergelar Aria Wira
Tanu memiliki seorang istri lain dari bangsa jin Islam dan dikaruniai
tiga orang putra-putri, yaitu Raden Eyang Suryakancana yang hingga sekarang dipercayai bersemayam di Gunung Gede atau hidup di alam jin, kini dijadikan nama Universitas Suryakancana Cianjur.
Putri kedua, Nyi Mas Endang Kancana alias Endang Sukaesih alias Nyai
Mas Kara, bersemayam di Gunung Ceremai, dan Andaka Warusajagad (tetapi
ada juga yang menyebutkan bukan putra, tetapi putri bernama Nyai Mas
Endang Radja Mantri bersemayam di Karawang).
Dalem
Cikundul sebagai leluhurnya sebagian masyarakat Cianjur, yang tidak
terlepas dari berdirinya pedaleman Cianjur. Maka Makam Dalem Cikundul
dijadikan tempat ziarah yang kemudian oleh Pemda Cianjur dikukuhkan
sebagai obyek wisata ziarah, sehingga banyak dikunjungi penziarah dari pelbagai daerah.
Selain
dari daerah-daerah yang ada di P Jawa, banyak juga penziarah dari luar
P. Jawa seperti dari Bali, Sumatra, Kalimantan, banyak juga wisatawan
mancanegara.
Peziarah
setiap bulan rata-rata mencapai 30.000 lebih pengunjung, mulai dari
kalangan masyarakat bawah, menengah, hingga kelas atas, dan ada pula
dari kalangan artis. Kata Pak Tamtam, juniornya Uwa Atang (keponakan)
biasanya peziarah paling banyak pada bulan Mulud dan kalo perhari,
maka malam Jumat merupakan waktu "prime time" (utama), apalagi malam
Jumat Kliwon dan pada hari Minggu.
Penulis
menyaksikan sendiri betapa ramainya kompleks ini, meskipun kehidupan
sudah jauh didekap kelambu malam. Deru suara knalpot bus memilih tempat
parkir memecah kebekuan malam dan hilir mudik peziarah maupun aktivitas
pedagang di seputar areal parkir membuat kompleks di areal ini hampir
tak pernah tidur. Fasilitas parkir cukup luas, kedai oleh-oleh khas
Cianjur, juga penginapan tersedia di sini. Peziarah dapat meluruskan
kaki dari rasa pegal di emperan mesjid atau tempat istirahat lainnya.
Insiden sawo
Setelah
selesai ziarah, Pak Akrom (kawan kami seksi logistik) memborong sawo
dan manisan yang banyak dijajakan di sana (pesanan kawan ibu-ibu),
sebagai ganti sawo siang tadi. Bukan apa-apa, ada insiden lucu
sebelumnya. Kawan ibu-ibu dibuat ngiler berat berkaitan dengan sawo.
Kisahnya begini, ada sisa satu sawo saat rombongan tiba di Posko II.
Secara tidak saya sadari, saya makan habis sawo semata wayang itu.
Rasanya kareueut alias manis abisss. Ternyata milik si
empunya rumah. Sang empunya rumah kebetulan sedang ziarah ke Banten.
Kawan-kawan dari pagi hanya mengelus-elus tanpa berani memakannya.
Ketidaktahuan
itu karena, saya terakhir datang (setelah memetakan penginapan sama
Pak Jun) dan nalurilah bertindak …. hemm nikmat nian. Kawan-kawan
hanya menelan ludah. Untuk mengobati rasa penasaran itu, sawo
dijajakan di kompleks makam Eyang Cikundul itu, sepulang dari ziarah
menjadi sasaran pelampiasan kawan-kawan. Borooong ... Kisah sawo manis
secara manis pula telah dimuat di Majalah Mangle majalah Sunda terbit di Bandung.
Tapi
sayangnya, kami di Cikundul hanya semalam. Berat rasanya meninggalkan
daerah sarat histori, sebagai awal mulanya sejarah kabupaten Cianjur
berdiri. Esoknya kami bersiap diri untuk mengikuti pertemuan dengan
dosen pengampu mata kuliah di Cikalongkulon. Sekilas pertemuan itu
dapat pembaca telusuri di Kuliah Lapangan Bersama Prof. Yus
Saya
dan Pak Jun, orang terakhir pulang dari Cikalongkulon, untuk berpamitan
menemui Pak Camat di Kantor Kecamatan Cikalongkulon.
Sayonara, Cikundul! Selamat tinggal Cikalongkulon!
[dadan wahyudin, wakil koordinator studi lapangan Cikakul 2011/diolah dari berbagai sumber]***
Sumber : dikutip dari: BLOG PBSI S2 UNSUR CIANJUR