BERBAKTI DAN MENGABDI

BERBAKTI DAN MENGABDI

Selasa, 07 Februari 2012

BAHASA NASIONAL: KEBANGGAAN DAN IDENTITAS BANGSA

 
Oleh : Dadan Wahyudin
dimuat di Majalah ISMA Cianjur Edisi 114 Tahun XIII, 23 Januari - 22 februari 2012 

Bangsa Indonesia cukup beruntung memiliki bahasa nasional sekaligus berfungsi sebagai bahasa negara yang proses pemilihannya relatif mulus. Sejumlah negara dihadapkan pada proses rumit dalam penentuan lambang kebanggaan dan identitas bangsanya. Tak jarang gejolak sosial-politik  menyertainya.

Filipina merupakan negeri tetangga memiliki historia serupa dengan Indonesia. Saat itu Portugis dan Spanyol terlibat konflik di Maluku. Mereka menyepakati perjanjian, Spanyol  mendapatkan Filipina dan Portugis di Maluku.  Akan tetapi serangan Belanda, membuat Portugis lari dan  akhirnya bertahan di Timor Timur. Tahun 1892, Spanyol ditaklukan AS. 

Filipina pernah mengalami ketegangan politik dalam menentukan bahasa nasionalnya. Sejak merdeka tahun 1946 hingga 1972, Filipina mengambil bahasa Spanyol sebagai bahasa resmi kenegaraan. Kemudian memilih bahasa “Pilipino” (dengan huruf “P” berdasarkan bahasa Tagalog) sebagai bahasa nasional dan ternyata kurang berkenan di hati rakyatnya. Pasalnya, bahasa Tagalog hanyalah salah satu bahasa suku dominan, tetapi tidak dipahami oleh suku-suku lain. Tahun 1973, Majelis Konstituante Filipina menetapkan bahasa “Filipino” (dengan huruf “F”) sebagai bahasa nasional dan akan didasarkan pada semua bahasa daerah di Filipina. Adapun bahasa resmi kenegaraan, Filipina memilih bahasa Inggris yang diadopsi dari penjajah terakhirnya yaitu AS. Bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa komunikasi antarsuku secara wilayah luas di Filipina.

Bangsa India akhirnya memilih bahasa Inggris menjadi bahasa negara karena bahasa Inggris telah menjadi “lingua-franca” di antara beragam suku di jazirah India.  Untuk meredam gejolak sosial, India menggunakan bahasa nasional lebih dari satu yaitu bahasa Hindi, bahasa Benggali, bahasa Tamil dan bahasa Malayalam. Masalah kebahasaan di negara kecil Singapura terbilang ruwet.  Singapura memiliki tiga etnis utama yaitu Cina, India dan Melayu. Singapura akhirnya memilih satu bahasa nasional yaitu bahasa Melayu dan empat bahasa resmi negara yaitu bahasa Melayu, bahasa Hindi, bahasa Mandarin dan bahasa Inggris. Akan tetapi dalam praktiknya penggunaan bahasa Inggris lebih dominan. 

Perjuangan menentukan bahasa nasional bagi negara sekelas Amerika Serikat bukan pekerjaan mudah.  AS baru menentukan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi negara pada 18 Mei 2006. Di Kongres, suara yang menyetujui bahasa Inggris sebagai bahasa nasional berjumlah 64 orang dibanding 34 yang tidak menyetujui. Urutan kedua adalah bahasa Spanyol karena memang kantong-kantong etnis Spanyol banyak tinggal di Amerika, dan urutan ketiga bahasa Jerman. Perjuangan menentukan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional dimulai sejak 1981. Banyak warga AS menginginkan kemajemukan bahasa diwadahi, seperti kemajemukan etnik dan budaya dan tidak ada sebuah bahasa  yang lebih dominan dari yang lain, sehingga tidak perlu bahasa nasional.

Bersitegang
Kasus pertentangan politik akibat bahasa, salah satunya terjadi di Quebec, Kanada.  Perdebatan bermula sejak tahun 1960, antara penduduk Quebec yang bersikukuh dengan bahasa Perancis dan penduduk daerah lain berbahasa Inggris. Bahasa Perancis sangat dominan di negara bagian Quebec (setingkat provinsi), sementara bahasa nasional Kanada  menggunakan bahasa Inggris.  Konflik ini berujung pada tuntutan pemisahan Quebec menjadi negara merdeka.  Referendum pun dilakukan pada tanggal 30 Oktober 1995. Mosi pemisahan Quebec dari Kanada akhirnya dikalahkan dalam perolehan suara pro-integrasi dengan Kanada (50,58 persen) dengan perbedaan amat tipis yakni  49,42 persen untuk pendukung pemisahan wilayah. 

Sementara Belgia di Eropa negeri berpenduduk 10,6 juta jiwa dan dikenal sebagai markas besar NATO-nya dikoyak ketegangan berkelanjutan akibat penggunaan bahasa.  Problematika itu menjadi persoalan serius mengancam disintegrasi bangsa dan sering menumbangkan rezim berkuasa. Belgia memiliki tiga bahasa dominan, yakni bahasa Belanda, Perancis, dan minoritas Jerman. Pengguna bahasa Belanda merupakan mayoritas, yakni 6 juta jiwa dan disusul  bahasa Perancis sebesar 3,5 juta jiwa, dan  bahasa minoritas Jerman sekitar 1 juta jiwa.

Kondisi penutur bahasa Belanda secara status sosial relatif lebih makmur, selama bertahun-tahun merasa didominasi oleh masyarakat berpenutur bahasa Perancis. Ini terjadi sejak Revolusi 1803. Di Belgia, seolah ada garis imajiner memisahkan kantong-kantong pengguna kedua bahasa ini.  

Bagi warga Belgia berbahasa Belanda, dominasi bahasa Perancis dalam kehidupan bernegara merupakan bentuk lain dari penjajahan. Hampir seratus tahun, pergerakan Flemish memperjuangkan agar bahasa Belanda dipakai di pemerintahan, pengadilan, sekolah, dan ketentaraan di Flandria (wilayah berpenutur bahasa Belanda) dan pada akhirnya konstitusi versi bahasa Belanda baru berhasil ditulis.  Hasil pertama dari tuntutan ini tercapai tahun 1921, ketika badan legislatif Belgia menetapkan bahwa bahasa Belanda sebagai bahasa resmi di propinsi-propinsi di Flandria dan bahasa Prancis menjadi bahasa resmi di propinsi-propinsi di Wallonia. Kota Brussel sebagai ibukota negara ditetapkan sebagai daerah khusus bilingual (dua bahasa adalah bahasa resmi).

Sejarah Bahasa Indonesia
 Indonesia beruntung dalam memilih bahasa nasional dan bahasa resmi negaranya relatif mulus. Begitupula Malaysia memilih bahasa Malaysia (sama-sama berbasis bahasa Melayu) sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara, meskipun golongan “atasan” lebih senang menggunakan bahasa Inggris. Antara tahun 1957-1967 Malaysia menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi.

Penetapan bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa nasional  didasari kenyataan bahwa bahasa Melayu sejak abad ke-16 telah digunakan sebagai bahasa “lingua-franca” di seluruh Nusantara.  Meskipun jumlah penuturnya relatif kecil (4,9%) dibandingkan penutur bahasa Jawa dan Sunda, tetapi wilayah pemakaian bahasa Melayu cukup luas meliputi sepanjang timur pantai Sumatera, Semenanjung Malaya, wilayah selatan Thailand, serta pesisir Jawa dan Kalimantan.  Bahkan bahasa Melayu pijin (pasar) digunakan mencapai di wilayah timur Indonesia seperti: Ambon, Ternate, Manado, Jayapura, Kupang hingga Merauke. Karena minoritas ini pula diyakini mampu meredam konflik, berbeda jika pemilihan bahasa nasional menggunakan salah satu bahasa daerah dominan (bahasa Jawa atau Sunda). Bahasa Jawa dan Sunda meskipun memiliki penutur peringkat satu dan dua di Nusantara, tetapi hanya mendiami suatu wilayah tertentu.   

Bahasa Melayu telah mengalami proses standarisasi, terutama melalui sistem pendidikan kolonial Belanda. Pembakuan ejaan pertama kali dilakukan tahun 1901 oleh sarjana Belanda bernama Ch. A. van Ophuijsen yang diberi tugas melakukan hal ini dan dari karyanya dikenal ”ejaan van Ophuijsen”.  Di tahun 1947, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Mr. Suwandi merevisi ejaan tersebut, hasilnya ejaan lebih sederhana yang disebut “ejaan Suwandi” atau “ejaan Republik”.  Proses pembakuan bahasa Indonesia terus mengalami perbaikan dan pemerintah menetapkan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) tahun 1972. Untuk mempermudah pembakuan bahasa Indonesia, tahun 1988 diterbitkan “Kamus Besar Bahasa Indonesia” dan “Tata Baku Bahasa Indonesia”.  

Sementara lembaga bertugas dalam perencanaan bahasa di Indonesia dimulai dengan berdirinya “Commisie voor de Volkslectuur” di masa pemerintah kolonial tahun 1908, kemudian berubah menjadi “Balai Pustaka” tahun 1917. Tahun 1942, pemerintah pendudukan Jepang mendirikan “Komisi Bahasa Indonesia”.  Sesudah merdeka, tahun 1947 dibentuklah “Panitia Pekerja Bahasa Indonesia” bertugas mengembangkan peristilahan, menyusun tata bahasa sekolah dan menyiapkan kamus baru untuk pengajaran bahasa Indonesia di sekolah. Setahun kemudian 1948 diubah menjadi “Balai Bahasa” dan sejak 1 April 1975 berubah menjadi “Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa” yang bertugas sebagai pelaksana kebijakan di bidang penelitian dan pengembangan bahasa.

Dukungan politis terhadap perkembangan dan pengindonesiaan sejumlah istilah asing dalam bahasa Indonesia secara hierarki dapat diurutkan: (1) Sumpah Pemuda 1928; (2) UUD 1945, Bab XV Pasal 36 tentang bahasa negara: (3) Keputusan Presiden Republik Indonesia No.57 Thn.1972 tentang penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan; (4) Instruksi Menteri Dalam Negeri RI No.20 tanggal 28 Oktober 1991 tentang pemasyarakatan bahasa Indonesia dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa;  (5) Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No.1/U/1992 tgl 10 April 1992 tentang usaha peningkatan usaha pemasyarakatan bahasa Indonesia dalam memperkukuh persatuan dan kesatuan dan kesatuan bangsa; dan  (6) Surat Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia kepada gubernur, walikota, dan bupati nomor 434/1021/SJ tgl 16 Maret 1995 tentang penertiban penggunaan istilah asing.  

Peran dan kedudukan bahasa Indonesia semasa era Sumpah Pemuda 1928 dikenal sebagai  bahasa pemersatu dan alat perjuangan nasional saat itu.  Kemudian diperkuat oleh konstitusi, dalam UUD 1945 Bab XV pasal 36 menyatakan bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia menjalankan tugas sebagai (1) Lambang kebanggaan negara; (2) Lambang identitas nasional; (3) Alat perhubungan antar warga, antardaerah, dan antarbudaya; (4) Alat untuk menyatukan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing.  Dalam kedudukan sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berperan sebagai: (1) Bahasa resmi kenegaraan; (2) Bahasa pengantar di dunia pendidikan; (3) Alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan; (4) Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. 

Proses perjalanan menentukan bahasa nasional bagi suatu bangsa ternyata tidaklah mudah. Berbanggalah dengan bangsa Indonesia yang telah merumuskan dan memilih  bahasa nasionalnya secara baik.  Hal ini menuntut konsekuensi bagi penggunanya, yakni wajib memelihara dan menggunakannya dengan berbahasa yang baik dan benar serta santun. **** (diolah dari berbagai sumber)


Penulis, mahasiswa PBSI S2
Universitas Suryakancana Cianjur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar