Melewati stasiun legendaris
Perjalanan menuju desa Karyamukti Campaka, meskipun tak jauh dari kampus Suryakancana namun tak kalah mengesankan dan eksotis. Desa cantik dibentengi puluhan bukit dan lembah ini cukup ditempuh 35 km ke arah Sukabumi. Lalu mengambil arah ke kiri menuju kecamatan Campaka dari kota Cianjur. Bila dihitung dari ibukota propinsi maka jaraknya 95 km dan sekitar 145 km dari ibukota Jakarta.
Hamparan kebun téh hijau menghimbau, berselang pohon sengon milik penduduk membuat perjalanan menyusuri jalan penuh kelokan ini tak terasa lelah. Sesekali tampak aktivitas penduduk di ladang bertanam palawija dan mengolah petak sawah sempit dihimpit deretan dua tebing curam. Juga pemandangan para pemetik teh bercengkrama, sembari menebar senyum optimis mewarnai perjalanan kami.
Nama Lampegan sendiri konon berasal saat kereta api dikemudikan tuan bule akan masuk terowongan, penduduk setempat mengingatkan dengan berteriak, “lampe tuan…lampe tuan” atau “lampu agan” (lampu tuan) maksudnya menyalakan lampu sehingga terhindar dari gelap gulita disergap pekatnya lorong terowongan. Namun kata yang familiar didengar penduduk adalah lampegan digunakan hingga kini. Sayangnya, kami tidak mengambil dokumentasi di sini.
Situs Megalit terbesar se-Asia Tenggara
Desa Karyamukti memiliki luas 1.864.230 ha. Di sebelah utara dengan kecamatan Cibeber, di selatan dengan kecamatan Sukanagara. Adapun di sebelah barat berbatasan dengan desa Cimenteng dan desa Wangun Jaya di sebelah timurnya. Desa memiliki kantor desa di Babakanlapang ini terletak di ketinggian 825-1200 mdpl dengan curah hujan 3333 mm/tahun,
Secara administratif, desa Karyamukti memiliki 33 RT, 9 RW dan 4 Dusun. Karena topografi berbukit-bukit, tak salah nama empat dusun pun bernuansa pegunungan, yaitu Dusun Gunung Mas, Dusun Gunung Sari, Dusun Gunung Malati dan Dusun Gunung Padang. Nama dusun terakhir kini mulai kesohor di kalangan arkeolog, geologi, budayawan, maupun wisata sejarah karena terdapat situs Megalit yang konon merupakan terbesar di Asia Tenggara.
Situs megalit Gunung Padang terletak 6 km dari Babakanlapang lokasi Balai Desa Karyamukti. Untuk mencapainya, bisa menggunakan kendaraan pribadi. Mobil pribradi bisa langsung ke pintu gerbang. Akan tetapi bila musim hujan, jalan berbatu menjadi licin. Namun jangan takut, tempat parkir sebelum gerbang terletak begitu masuk kampung tersedia.
Anda harus melewati batuan andesit hampir 400 anak tangga dengan sudut elevasi cukup curam, namun kini sudah dibuat tangga dari beton yang dibuat melingkar sehingga agak landai. Namun tak urung, ketinggian sekitar 90 meter dari gerbang membuat dada sesak dan melelahkan. Beberapa kali kami beristirahat menahan nafas, sembari memandang kebun téh di sekelilingnya.
Tatkala tiba di puncak, hamparan batu yang konon berusia 1500-2500 tahun silam terhampar berserakan. Batu-batu tersusun menyerupai ruang-ruang. Bahkan ada menyerupai alat-alat musik Sunda seperti: bonang dan kecapi. Batu-batu itu terhujam kuat.
Gerimis turun tak menghalangi menikmati eksotisme situs ini. Perjalanan melelahkan seakan terbayar sudah oleh kepuasan menikmati panorama di atas bukit ini. Kabut perlahan turun, membuat kami beringsut untuk turun.
Melihat posisi batu ini mengingatkan kita pada bangunan megalit serupa Stonehenge di Inggris atau kompleks Machu Picchu di Peru berada di puncak bukit tinggi. Menurut Pak Dedi, petugas yang menjaga situs ini, Situs Gunung Padang pertama kali dilaporkan oleh peneliti Belanda: N.J. Krom tahun 1914, namun belum ditindaklanjuti.
Tatkala ada penebangan kayu di lokasi ini, penduduk melaporkan kepada pemerintah daerah setempat tahun 1979. Gerbang dan bangunan pun dibangun di bekas rumah milik Pak Dedi yang dibeli Pemda. Dari paparannya menyatakan bahwa situs ini kemungkinan dibangun pada masa Prabu Siliwangi dari Kerajaan Sunda sekitar abad XV, dengan menggunakan batu-batu berusia 1500 tahun. Menurut para ahli, relevansi ini dibuktikan ada guratan senjata kujang dan ukiran tapak harimau pada dua bilah batu, sebagai ciri khas era ini.
Namun ada pendapat lain menyatakan bahwa kebudayaan megalit erat kaitannya dengan Kebudayaan Dongson (500 SM) di Vietnam dan Asia Tenggara. Bila mengacu pada pendapat ini, maka situs ini diprediksi telah ada hampir 2500 tahun silam.
Kilau emas di desa Karyamukti
Desa Karyamukti termasuk desa agraris di mana mata pencaharian penduduknya sebagai petani, sebagian lagi menyambi beternak dan bekerja di kebun téh. Wanita dewasa umumnya bekerja sebagai pemetik téh.
Mata pencaharian termasuk satu poin budaya, yang menarik di Karyamukti banyaknya penduduk bermata pencaharian penambang batu emas. Bunyi tumbukan batu dan bangunan pengolah batu emas disebut gulundung atau rental banyak dijumpai di daerah ini. Tua, muda, pria wanita, tampak bekerja memecahkan batu diyakini mengandung emas ini di pelataran rumah masing-masing.
Perut bumi desa Karyamukti kaya emas. Untuk mendapatkan batu ini, penduduk menambang dengan cara masuk ke lorong bawah tanah sedalam 70-100 meter ke bawah tanah secara vertikal dan 60-100 m horizontal dan berliku mirip lubang tikus.
Batu ditambang secara manual menggunakan tatah. Sebelumnya, mereka membawa perbekalan logistik dan blower untuk sirkulasi oksigen dan kegerahan selama satu dua hari di dalam tanah. Ada beberapa daerah penambangan emas di desa Karyamukti, baik penambangan umum maupun dikelola perusahaan.
Penduduk dapat pula bekerja dengan perusahaan dengan sistem bagi-hasil batu diperoleh. Batu-batu ini dapat diolah di mesin pengolahan emas baik dengan cara menyewa atau milik sendiri. Sebelumnya batu-batu ini dipecahkan secara manual sebesar batu split, kemudian dimasukan ke mesin rental selama 12 jam bersama wik dan dipijit untuk mendapatkan bijih emas.
Bijih emas awalnya berwarna putih menjadi kuning berkilau setelah dibakar. Lazimnya orang berusaha, adakalanya kandungan emasnya tinggi, kadang sedikit, bahkan ada pula yang “nyabok” (tak ada bijih emas sedikitpun).
Tradisi dan budaya
Sebagaimana desa-desa di Kabupaten Cianjur, tradisi dan budaya Sunda buhun masih terjaga, meskipun ada pengaruh modernitas dan globalisasi. Dinamika penduduk terutama penambang emas, sebagian berasal dari penduduk luar mewarnai akulturasi budaya dan dialek bahasa.
Peserta studi lapangan mencoba mendapatkan data dengan mendatangi tokoh, sesepuh dan praktisi berkaitan dengan unsur budaya dan sastra yang ada di daerah ini. Termasuk mencoba mencari data adat ritual berikut "parancah" atau "jangjawokan" (jampe) masih digunakan dalam menyembuhkan orang sakit, bercocok tanam, memanen, membangun rumah, atau hajatan. Namun beberapa “parancah” atau “jangjawokan” sudah diselaraskan dengan kehidupan religius mayoritas muslim penduduknya diganti shalawat berisi puji dan doa. Begitu pula tukang sawer, beluk, kuncen, atau paraji yang masih melestarikan teks lisan kidung, tembang, jampe, tak luput menjadi bidikan peserta studi lapangan. Atau lantunan dilakukan ibu-ibu dalam "marende" bayinya.
Peserta studi lapangan berkesempatan mendengarkan paparan tentang kisah Kerajaan Sunda yang bermula di Jampangmanggu (Cikalong), Silsilah Cikundul, hingga Kerajaan Pajajaran dan tokoh raja-rajanya. Acara ini bertepatan dengan pengajian rutin diadakan warga setempat di malam harinya.
Esoknya dilanjutkan ke penambangan emas untuk mencari pengayaan data kehidupan dialami penambang baik pahit getir maupun kebahagiaan diperoleh, terutama mendapat hasil muncekil.
Di akhir kegiatan, Peserta studi lapangan mendapat pengayaan materi sastra dan budaya Sunda dari Prof. Dr. H. Yus Rusyana yang sengaja datang ke lokasi sekaligus memberi evaluasi kegiatan. Laporan ini nantinya disusun sebagai bahan pengayaan budaya dan sastra Sunda, khususnya di “wewengkon” Kabupaten Cianjur sebagai salah satu barometer budaya Sunda di tatar Pasundan. *** (Dadan Wahyudin, pimpinan rombongan peserta/koresponden Sduadua unsur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar